Musim pengembaraan angkatan kami, Maharana Wulung Adhiwarsa,
mendapat sambutan yang hangat dari tiap elang-elang muda saat itu. Kami
bersemangat mendaftarkan diri dalam 6 pilihan pengembaraan yang dibuka. Kami
bangga saat itu karena ternyata 6 pilihan pengembaraan langsung terisi dan
sukses melakukan pengembaraan, berbeda dengan angkatan sebelum kami.
Alasan saya memilih ekspedisi selam karena saya suka sekali
dengan laut, tetapi ada satu saat saya pernah hampir tenggelam di laut. Kejadian
itu membuat saya trauma, jadi saya ambil keputusan untuk kembali lagi ke laut.
Kalau tentara terjun menggunakan parasut dan gagal terbuka saat mendarat, maka
si tentara tadi harus naik lagi pesawat dan terjun lagi, tentunya setelah
memastikan tidak ada kerusakan lagi pada parasut.
Awalnya, anggota tim selam ada 4 wanita dan 3 pria ditambah 1
pria pembimbing. Sejalan dengan waktu, 2 orang teman kami (Ing dan Helen)
mengundurkan diri dari tim. Jadilah tim kami hanya dihuni oleh 2 wanita dan 4
pria, sudah termasuk pemimpin tim Ferry Jonas dan pembimbing tim Alfrido
Manurung. Saya dipercayakan bagian konsumsi dan dokumentasi, Niken bendahara dan P3K,
Radit logistik, Yuki operasional dan pendanaan.
Kami memilih lokasi penyelaman di Larantuka ditambah Riung
(dengan 17 pulaunya) dan Pulau Satonda, Nusa Tenggara Timur dan Taka Bonerate,
Sulawesi Selatan. Kami menyoret pilihan Taka Bonerate karena biaya operasional
yang terlalu tinggi dan waktu yang dibutuhkan terlalu lama (hanya 6 bulan masa
persiapan), serta ombak pada bulan itu terlalu tinggi untuk penyelam pemula
seperti kami.
Larantuka juga tercoret dari pilihan kaerna kontur permukaan
dasar laut yang curam, berbentuk tebing, sehingga tidak banyak koral yang bisa
diamati. Analisa ini didapat dari pemetaan dari DISHIDROS – Angkatan Laut,
Tanjung Priok. Akhirnya, pilihan jatuh pada Riung, Flores. Riung terdiri dari
17 pulau kecil yang tidak berpenduduk, memiliki koral yang tergolong sehat dan
keunikannya: ada mawar laut yang tidak dimiliki tempat lain, juga biayanya
cukup.
Melalui evaluasi dengan anggota lama dalam rapat, tim kami
mendapat jatah latihan Sabtu-Minggu mulai pkl. 8.00 – 18.00. Pelatihan di mulai
bulan Maret (kalo ga salah) sampai Juli 1997. Kami juga diharuskan melakukan try-out 2 kali di Labuan Serang di
resort milik Kak Sani dan waduk Jatiluhur. Tempat-tempat latihan yang kami
pilih adalah kolam renang yang memiliki kedalaman lebih dari 2 meter. Beberapa
tempat dengan kriteria seperti itu kolam renang KOPASUS di Batu Jajar dan
Cihampelas.
Kami berlatih ketahanan menyelam sepanjang kolam-kolam itu,
bolak balik. Saya ingat satu saat saya berlatih ketahanan di kedalaman ini
bersama Radit dan Ferry. Dua teman saya ini mendapat julukan Ferry manusia ikan
dan Radit manusia pesut. Jadi, saya (di tengah-tengah), Radit dan Ferry
memegangi tangan saya kiri dan kanan. Belum sampai habis jarak tempuh, saya
sudah kehabisan napas dan berusaha melepaskan pegangan kedua teman saya itu.
Setelah berhasil, saya langsung berenang ke atas dengan cepat, dalam garis
lurus.
Di tepi kolam sudah menunggu senior-senior selam, Kak Adit
dan (Lupa satu lagi siapa) yang menyambut saya dengan marah. Saya baru saja
melakukan tindakan yang sangat dilarang dalam penyelaman. Seharusnya, saya
melakukan putaran untuk mengurangi kecepatan, sepanik apapun saya di dalam air.
Jika prinsip ini diabaikan, maka udara yang tertekan di dalam paru-paru akan
mendesak keluar dan membuat luka atau cidera yang serius. Kejadian ini jadi
pelajaran yang selalu saya ingat.
Selain latihan, kami juga menjalankan aksi penggalangan dana
agar dapat melakukan ekspedisi selam dengan peralatan scuba. Kami menjual makanan, topi, kaos, rokok, dan lain-lain. Kami harus bergulat
dengan waktu latihan, mencari dana dan kuliah sehingga seringkali kegiatan
pencarian dana tidak maksimal. Kami juga bekerja menjadi panitia Marlboro Adventure Team (MAT) sepulang dari ekspedisi.
Perjalanan kami dimulai dari Terminal Pulo Gadung, langsung
menuju Pulau Bali. Selama di bus, kami mendengarkan lagu-lagu dari Dewa 19,
sehingga saat tulisan ini dibuat, saya harus memutar kembali lagu-lagu Dewa 19
lewat Youtube. Di Bali, kami lanjutkan perjalanan lewat laut ke Labuhan Bajo.
Kapal feri kami menepi, anggota tim semua sudah sangat lelah dan mual karena
ombak tinggi sepanjang penyeberangan. Hari sudah larut, dalam kegelapan kami
berjalan menuju angkot yang membawa kami ke Bajawa.
Supir angkot berebut penumpang, sendirian, saya melihat supir
saya mengeluarkan parang dari balik jok duduknya. Sekilas ia melihat saya dan
tersenyum. Karena saya terlalu lelah, saya sudah tidak merasa takut, hanya
berpikir siapa malam ini yang akan terbunuh. Saya tidak tahu berapa lama supir
tersebut pergi. Saya merasa angkot sudah penuh. Supir angkot kami melarikan
mobil gila-gilaan. Di tengah jalan, ia melongokkan kepalanya lewat jendela dan
sepertinya mengadukan kejadian rebutan penumpang tadi ke temannya dalam bahasa
daerah.
Akhirnya tibalah kami di Bajawa, kami mencari alamat Pak Erasmus. Kami beristirahat. Keesokan harinya baru kami lanjutkan perjalanan
ke Desa Nangamese. Perjalanan kami tempuh dalam waktu 5 jam. Supir angkot
kali ini tidak seperti malam kemarin, wajah oriental tetapi fasih sekali
berbahasa daerah. Biarpun perjalanan termasuk panjang, saya bisa menikmati
karena pemandangan sekitar terlihat jelas. Struktur tanah di Flores cenderung
kering, berjurang, jalan kecil.
Kami tiba di Desa Nangamese dan menemui kepala desa. Kepala desa
mengenalkan kami pada Pak Niko yang menjadi semacam penunjuk jalan sepanjang
ekspedisi kami. Kami diberi ruang kecil di belakang rumahnya. Di situ kami
meletakkan bawaan berat kami dan membawa barang seperlunya saja, seperti
makanan, minuman dan peralatannya, alat dokumentasi, slit, dll. Hari itu (sepertinya) kami langsung ke pantai. Kami juga
melihat komodo atau mbou yang sering
diburu masyarakat karena suka mencuri ayam atau ternak lain peliharaan
masyarakat.
Pasir pantai di Riung termasuk jenis pasir putih, tidak
panjang seperti Senggigi. Kami dapat melihat koral dari perahu kayu yang kami
gunakan untuk berkunjung ke maksimal 3 pulau per hari. Lautnya tidak dalam,
dasar tidak curam, arus sedang sehingga cocok untuk kegiatan snorkeling. Ikan-ikannya beragam dan
cantik-cantik seperti ikan hias, kami menikmati ‘akuarium’ besar di sana. Rekan
kami, Niken, malah mendapat kesempatan berhadapan muka di bawah laut dengan
anak ikan hiu. Keduanya segera melarikan diri, dan mungkin setelah sadar, jadi
saling merindu :D
Suatu kali, Ferry menyembul ke luar dan memberitahukan dia sudah menemukan Mawar Laut. Bukan tanaman, melainkan kumpulan telur ikan yang hanya hidup di pulau itu dan membentuk semacam jaring halus dan berwarna merah muda. Jika terkena arus laut, telur itu akan melambai dan membentuk mawar. Kami membentangkan bendera Mahitala dan mengambil foto dengan kamera C & C.
Kami berencana mengadakan kegiatan night diving hanya karena ketiduran, kami menggantinya dengan morning diving. Kami ingin melihat
ikan-ikan yang tidur, tetapi gagal karena pasir menutupi, jarak pandang pendek,
senter bawah laut kami tidak cukup kuat menerangi. Saya tersengat ubur-ubur
yang banyak keluar saat pagi. Saya langsung naik dan diguyur dengan air tawar.
Tiga malam kami habiskan di pulau yang tidak berpenghuni.
Beberapa teman memilih tidur di dalam tenda, saya sendiri memilih tidur di luar
tenda. Saat menghadap langit, saya bisa melihat jutaan bintang tersebar di
langit, sangat indah. Namun, yang menyedihkan, kami juga mendengar ada suara
pukat harimau (bom) yang dipakai nelayan untuk mendapatkan ikan dalam waktu
singkat dan banyak, menghancurkan koral tempat ikan bisa berlindung.
Ada di satu pulau, saya bertemu dengan turis yang sedang
berenang. Saya melihat bintang-bintang laut di tepi pantai. Saya ambil dua atau
tiga ekor untuk didokumentasikan di atas pasir. Saya didatangi oleh turis itu
dan dia melarang saya ‘menyiksa’ bintang-bintang laut itu. Saya jelaskan bahwa
saya hanya ingin mengambil gambar, tidak bermaksud membiarkan sampai kering.
Dia mengerti, namun sebelum meninggalkan saya, dia berpesan agar tidak lupa
mengembalikan ke laut. Kontras sekali dengan kejadian malam sebelumnya,
masyarakat di sana tidak menghargai kekayaan alamnya sendiri, sementara turis
yang tidak lahir di situ kuatir akan nasib bintang-bintang laut di hadapan saya
waktu itu.
Mawar Laut (Rose of the Sea) |
Kami tidak punya tempat menginap di Bali saat pulang, kami
habiskan tidur di Pantai Kuta. Kami tiba dengan selamat di Bandung.
wow...keren.
ReplyDeletetapi lebih keren lagi kalau foto2 yg kau ambil kau pasang pula dimari...pasti KEREN PISAN!!!
makasih komentarnya Mbak Witty :D pingin sih tambahkan foto tapi informasi terakhir di seker M, foto-foto kami hilang :( seandainya saja foto-foto itu bisa diunduh dari ingatan kami :(
ReplyDelete