Saat
sahabatmu menikah, kamu juga turut berbahagia
Akhirnya,
setelah semua pergumulan berat menjelang hari bahagia itu,
Sahabatmu
berdiri di sana bersama suaminya,
Kamu
juga di sana, di antara para tamu, memandangi wajah sahabatmu
Kamu
segera tahu, itulah saat terakhir kebersamaan kalian
Sebulan berlalu sejak pernikahan
Anas, sahabat Nita. Pernah sekali waktu mereka berjalan bersama setelah pernikahan itu. Nita bercerita
seperti biasanya tentang hal-hal sepele di kantor mereka. Anas mendengarkan dan
memberi komentar, seperlunya. Nita memalingkan muka melihat wajah Anas. Ada
yang hilang di sana. Anas tidak lagi sama. Tiba-tiba saja Nita merasa
sendirian. Percakapan masih terus mengalir dari mereka berdua, namun tidak lagi
seperti dulu. Sejak saat itu, Nita selalu menghindar ajakan Anas untuk bertemu. Buat apa? Keadaan sudah berbeda sekarang.
Ada sesuatu yang
disimpan Anas. Entah apa itu. Nita tidak ingin menanyakan karena seharusnya di antara sahabat,
tidak ada rahasia. Nita tidak ingin tahu juga. Anas berbeda karena keadaan. Bukan, bukan itu yang hilang.
Keceriaan Anas, kemana perginya? Mengapa sekembalinya dari bulan madu, dirinya
terlihat tidak begitu bersemangat? Nita berharap Anas cukup mempercayainya sebagai
sahabat, bercerita sedikit saja beban pikirannya. Anas tidak pernah bercerita.
Nita juga tidak bertanya.
Saat Anas
menunggu Nita untuk pulang bersama, Nita segera menolak dengan halus, dengan
alasan yang masuk akal. Anas mengangguk, memandang kepergian Nita dengan wajah
sedih. Dalam hati, Nita tidak bermaksud membuat Anas sedih. Justru sebaliknya,
Nita memberikan ruang bagi Anas untuk menjauh dari hidupnya dan mendekatkan
diri pada suaminya. Nita menumpang motor teman yang kebetulan searah dengan
tujuan Nita.
Tidak terasa, sudah waktunya Anas mengundurkan diri dari kantor mereka. Sebelum menikah, Anas
sudah memberi tahu Nita tentang hal ini. Hanya saja, kenyataan Anas tidak lagi
satu kantor dengan Nita benar-benar jadi jurang pemisah yang lebar bagi
hubungan mereka. Nita juga kehilangan semangat kerja setelah kepergian Anas.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menerima undangan saudaranya untuk menetap di
Perancis.
Angers, kota
kecil yang rapi dan ramah, membuat Nita cepat melupakan semua kenangan di
Jakarta. Hidup di sana mirip seperti dilahirkan kembali. Nita menyerap semua
energi positif di kota itu. Ia mengambil pendidikan kuliner, membuat kue-kue
Perancis yang unik. Rencananya, ia akan kembali lagi ke Jakarta dan mendirikan
kafe rumah baca, gabungan antara kafe untuk menikmati teh dan kopi ala Eropa
serta kue-kue penyertanya dan tempat membaca serta membeli buku. Buku dan kopi.
Duet maut yang selalu menggugah seleranya.
Rupanya tempat
Nita menggali ilmu kuliner mengharuskan tiap siswanya magang di salah satu
restoran yang ada di Angers. Tidak sulit bagi Nita mendapatkan kesempatan itu
dengan pertolongan suami saudaranya yang kebetulan bekerja sebagai koki di
hotel terkenal di sana. Siang hari, Nita belajar di kampus, malamnya, ia
bekerja hingga pukul 10 malam. Dengan kulit eksotis yang dimilikinya, banyak
pula pemuda Angers yang mengajaknya berkencan. Nita tidak punya waktu ekstra
untuk mereka. Ia hanya punya satu tujuan, menyelesaikan sekolah itu dan kembali
ke Jakarta. Lebih baik hujan air di
negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang lain, peribahasa ini
sangat mengena untuk Nita.
Malam itu, Nita
tidak bisa tidur seperti biasanya. Setelah 3 bulan berlalu, Nita memutuskan
untuk mencari rumah tinggal yang terpisah dari saudaranya. Meskipun saudaranya
itu baik, Nita tetap merasa tidak berkembang jika tinggal dengan saudaranya
itu. Lagipula, anak-anak saudaranya sudah besar-besar, tentu mereka lebih
membutuhkan kamar yang dipakai oleh Nita. Dan benar saja, saudara Nita segera
menyambut senang usul Nita untuk mencari tempat lain. Nita memilih tinggal di
hunian di tengah-tengah kampus dan tempat kerjanya. Rupanya, Nita sudah
terbiasa dengan keramaian sehingga tinggal sendirian di kamar itu membuatnya
tidak bisa tidur.
Untung saja,
Nita sudah membeli laptop sekaligus internet dan buku-buku serta
berbungkus-bungkus makanan ringan serta kopi dan teh di tempat baru ini. Semua
perlengkapan hiburan tersedia. Nita memilih membuka laptop, berharap ada
inspirasi untuk menulis sesuatu. Buntu, tidak ada ide apapun. Akhirnya, Nita menjelajah
berita-berita tentang Indonesia lewat internet. Ada kerinduan mendalam saat
melihat orang-orang berkulit eksotis yang mirip dirinya dari layar monitor
komputer. Banjir, kemacetan, korupsi, dan lain-lain, masih berita yang sama
saat ia meninggalkan Jakarta.
Jejaring sosial
yang pernah dia miliki tidak diaktifkan saat ia memutuskan untuk pergi ke
Perancis. Lewat mesin pencari ternama, google, Nita mengetikkan satu nama yang
sudah lama tidak dihubunginya. Anas. Sebentar saja, wajah Anas sudah terpampang
di layar komputernya. Membaca linimasa Anas,
Nita berkesimpulan sahabatnya itu baik-baik saja. Anas sedang hamil di foto
itu. Kelihatan sekali dia bahagia sebagai calon ibu. Nita menutup komputer dan
segera menarik selimut memuaskan rasa kantuk yang sudah menderanya. Malam itu,
Nita bermimpi ada di suatu restoran bersama dengan Anas berbincang-bincang
sambil tertawa-tawa, seperti masa-masa sebelum Anas menikah.
Ada rumor tidak
sedap di lingkungan sekolah kuliner Nita. Entah siapa yang menyebarkan berita
itu, siapa pun dia, pastilah dari salah satu pria yang ditolak cintanya oleh
Nita. Rumor itu menyebutkan dirinya seorang pecinta sesama jenis, sesuatu yang
lazim di Perancis. Tetapi tentu saja hal itu tidak benar. Nita tidak terlalu
peduli, justru senang karena dia tidak perlu mencari-cari alasan menolak cinta
pria-pria Angers itu. Sedangkan saudara Nita berang mendengar rumor ini. Ia
memutuskan untuk ikut campur dengan kehidupan cinta Nita. Dia ingin membuktikan
Nita masih menyukai pria, walaupun dia sendiri ragu apakah Nita masih memiliki
orientasi seksual yang sama. Les homes
peuvent changer. Manusia bisa berubah.
Kegiatan
percomblangan pun dimulai. Semua jenis pria dikenalkan kepada Nita. Biarpun
berulang kali Nita menjelaskan agar tidak mempercayai rumor itu, saudara Nita
tetap saja tidak berhenti mencomblangi Nita. Sepertinya ia tidak akan berhenti
hingga Nita mengatakan ya pada salah satu dari pria-pria tersebut. Nita merasa
seperti puteri raja yang sedang mencari pangeran yang hilang. Karena kasihan
dengan usaha saudaranya ini, Nita pun mengikuti saja skenario yang disodorkan
oleh saudaranya. Akhirnya, Nita memutuskan untuk berkencan dengan seorang pria
petualang yang kelihatannya tidak berkomitmen dengan hubungan yang serius.
Tentu saja, tujuannya agar setelah beberapa saat berkencan, si pria memutuskan
Nita terlalu menjaga diri sehingga membuat dirinya bosan. Pria petualang selalu
merasa cepat bosan. Justru itulah yang diharapkan Nita.
Rupanya,
saudara Nita tidak berhenti pada saat percomblangan berhasil. Tiap kali pulang
berkencan, saudara Nita menanyakan perkembangan hubungan Nita dengan Cedric,
pria petualang itu. Apakah Cedric sudah menciumnya, melamarnya dan sebagainya.
Nita akan pasang wajah sedih dan menjawab semua pertanyaan itu dengan tidak.
Padahal semua bohong. Entah mengapa, Cedric malah serius sekali dengan Nita.
Padahal sama sekali Nita tidak memberi harapan padanya. Cedric tergila-gila
dengan kulit eksotis Nita, dengan kegadisannya, dengan kejudesannya. Pria
memang aneh. Pria Perancis lebih aneh lagi.
Nita
berencana menyudahi hubungan ganjil dengan Cedric. Dia tidak berencana
berlama-lama memberikan harapan palsu pada Cedric dan saudaranya karena
sebenarnya mereka berdua baik sekali. Cedric bukan pria petualang pada umumnya.
Dia tidak pernah terlalu mengumbar romantisme. Kalau saja Nita punya sedikit
rasa cinta pada Cedric, tentu romantisme Cedric akan disambut baik. Sayangnya,
tidak. Nita berencana untuk mengatakan hal ini menjelang kepulangannya ke Jakarta.
Seperti membunuh dengan senapan, sakit tetapi kematiannya segera datang.
Saat
itu pun tiba. Sengaja tidak diberitahukan rencana kepulangannya pada Cedric.
Nita memilih menyudahinya dengan cara yang paling sopan. Mengajaknya makan di
sebuah restoran yang sedikit mewah dengan tampilan yang disesuaikan dengan
keadaan restoran tersebut. Malam itu, Nita tampil segar dan cantik. Gaun pendek
merah Nita memancarkan kulit eksotisnya yang bersih dan bersinar. Saat
menjemput Nita, Cedric tidak dapat menyembunyikan kekagumannya. Nita merasa
menyesal memilih gaun tersebut. Sepertinya, perpisahan mudah dan tidak
menyakitkan, tidak akan terjadi malam ini.
Setibanya
di meja yang sudah mereka pesan sebelumnya, Cedric mendorong keluar kursi Nita
dan mempersilakannya duduk bak seorang bangsawan memperlakukan gadis pujaannya
di abad pertengahan. Nita jadi merasa sedang menjadi salah satu artis film
Perancis tempo dulu. Nita mengucapkan terima kasih dan duduk berhadapan dengan
Cedric. Nita dapat melihat dengan jelas sinar kelembutan di mata Cedric.
Kasihan sekali pria ini. Nita mengalihkan pandangan keluar jendela. Ia masih
merasa Cedric menatapinya. Tidak berapa lama, pesanan mereka datang.
Setelah
menghabiskan makan malam mereka, pelayan menuangkan anggur merah sebagai
pendamping sajian ikan salmon sebelumnya. Cedric menceritakan semua
pengalamannya berkeliling dunia, sementara Nita sesekali mencuri pandang
melihat jam sambil berusaha menanggapi cerita-cerita tersebut dengan sopan.
Setelah dirasa Cedric mulai sedikit mabuk dengan anggur itu, Nita menyela
obrolan Cedric dengan sopan. Lalu tanpa perasaan, Nita mengatakan segala
sesuatu yang harus dikatakan pada Cedric malam itu. Cedric menatapnya
dalam-dalam tanpa mampu berkata apa-apa. Nita pamit untuk segera kembali ke
kamarnya karena jam keberangkatannya pagi hari. Cedric mematung.
Keesokan
harinya, Nita pergi sendirian ke bandara Charles de Gaulle. Barang-barang yang
dibawa kembali ke Jakarta tidak banyak. Nita memang bukan tipe wanita yang suka
mengoleksi barang. Beberapa barang yang sudah dibeli saat tinggal di Angers
dibagi-bagikan secara gratis kepada teman-teman satu kerja dan sekolah. Satu
tas khusus menyimpan oleh-oleh yang sudah dipesan oleh keluarga dan sanak
saudara di Jakarta. Mereka sudah memesannya seminggu sebelum kepulangannya dan terus
menerus mengingatkan Nita agar tidak lupa membeli pesanan mereka. Mereka tahu
Nita kurang apik dalam mengurusi pemesanan oleh-oleh.
Setelah
melalui berbagai pengecekan dokumen, Nita naik ke dalam pesawat dengan nomor bangku
11A. Bangku tersebut dekat koridor sehingga Nita bisa mengamat-amati penumpang
lain. Di seberangnya, pria dan wanita, mungkin suami isteri, mungkin juga
tidak, duduk sangat rapat satu sama lain. Si wanita terlihat kelelahan sehingga
belum lagi pesawat lepas landas, ia sudah membaringkan kepalanya di pangkuan si
pria. Di depan bangku itu, seorang pria berkulit gelap segera memasang musik
melalui headphonedan menyandarkan
tubuhnya dengan santai. Dibandingkan
penerbangan pertama Nita ke Perancis, penumpang di pesawatnya didominasi oleh
orang Asia.
Nita
membunuh kebosanan selama perjalanan jarak jauh itu dengan membaca buku
kuliner. Biarpun dia bukanlah siswa terbaik di sekolah kuliner Angers, Nita
yakin usaha kafe buku yang akan dirintisnya di Jakarta bisa sukses. Nita yakin
karena kegagalan hanya akan membuat dirinya lebih penasaran, lebih giat lagi
mencari cara agar berhasil. Ia juga sudah menyediakan beberapa nama yang
rencananya akan dihubungi untuk diajak bermitra. Nita sudah memikirkan dan
mencatat rencana kerjanya sejak awal kehidupannya di Angers.
Saat
ditawari makanan oleh pramugari, Nita menolak. Di ketinggian seperti itu, Nita
tidak dapat menelan makanan berat apalagi yang mengandung produk susu. Nita
sudah menyediakan biskuit dan makanan kecil sebagai gantinya. Air mineral juga
satu-satunya yang cocok dengan kondisi perut Nita saat ini. Kegiatan baca,
mendengarkan musik, tidur, kembali membaca, menonton beberapa film yang tidak
pernah selesai cukup juga membuat dirinya terhibur selama perjalanan. Akhirnya,
pesawat yang ditumpanginya tiba di bandara Soekarno-Hatta.
Nita. Seseorang memanggil namanya. Anas berdiri di situ
bersama kedua orangtua Nita. Dia sudah menggendong seorang anak berusia
kira-kira 3 tahun. Nita langsung jatuh hati melihat bocah montok dan lucu itu.
Setelah memeluk kedua orangtuanya, Nita berjalan mendekati Anas dan anaknya.
“Hi, Nas, apa kabar?” sapa Nita sambil tersenyum. “Baik, Nit. Lu gak
bilang-bilang pergi ke Angers. Tega banget sih lu. Apa salah gue?” tanya Anas
bertubi-tubi.
Nita
yang tidak siap dengan pertemuan ini tidak menemukan jawaban yang cepat.
Suasana menjadi kikuk. Kedua orangtua Nita meninggalkan mereka dengan alasan
mengambil barang yang ketinggalan di dalam mobil. “Anas, maaf tapi waktu itu
gue merasa harus melakukannya. Lu kan tau gue orangnya suka dadakan.” Nita
berusaha menjawab semasuk akal mungkin.
Kening
Anas berkerut, mulutnya tambah maju ke depan. Pemandangan ini terlihat lucu
bagi Nita. Dia tidak dapat menahan tawa. Kali ini, suara Anas meninggi, “Lu tuh
garing ya Nit, pergi gak ngabarin, datang kasih alasan gak masuk akal, sekarang
lu ngetawain gue. Gak lucu tau.” Tawa Nita langsung berhenti. Anak di gendongan
Anas mengkerutkan badannya tanda terkejut. Anas buru-buru menenangkan anaknya.
Nita
mengajak Anas berjalan menuju sebuah kedai kopi kecil di bandara. Setelah
mereka duduk dan memesan minuman, sikap tubuh mereka mulai menegang lagi.
“Anas, to be honest, gue sedih lu berubah sejak lu menikah. Biarpun gue sudah
coba menyiapkan diri gue dengan kenyataan ini, tetap saja gue sedih. Lu gak
sama lagi. Yah, daripada gue suntuk sendiri, mending gue pergi cari petualangan
baru di negeri orang. Lumayan Nas, sedih gue jadi gak kelamaan, malahan gue
bisa belajar banyak di sana. Biarpun gue musti sedikit rempong ama manusia-manusianya.”
Kali
ini, Anas tidak lagi menunjukkan wajah bete.
Dipaksanya untuk tersenyum, berusaha bersimpati dengan perasaan temannya.
Tidak disangka, Nita yang kelihatannya tidak perlu bersusah payah untuk
mendapatkan teman karena kepribadiannya yang periang dan selalu banyak canda,
sebegitu sedihnya hingga memilih untuk meninggalkan Jakarta. Jauh di dalam
lubuk hatinya, Anas tahu, Nita pasti punya alasan yang kuat memilih pergi
diam-diam.
“Nita,
gue berusaha menjaga persahabatan kita agar sama seperti dulu. Segala persiapan
pernikahan ternyata begitu menyita pikiran gue. Kehidupan setelah pernikahan
tuh penuh tanggung jawab. Untungnya, suami gue, David, baik banget. Gue merasa
lu bakal bosan dengar cerita gue tentang kehidupan rumah tangga. Dan, jujur,
gue kangen bisa ngobrol ama lu panjang lebar tanpa perlu lihat jam, seperti
dulu. Gue sedih banget waktu denger kabar lu udah di Angers. Gue merasa lu gak
anggap gue sahabat lagi,” airmata menggantung di kedua bola mata Anas.
“Anas,
aduh, jangan nangis donk. Ah lu mah masih cengeng aja, belum berubah,” Nita
berusaha menenangkan Anas. “Rese lu, malah ngatain gue cengeng. Lu tuh garing,
pergi diam-diam kayak maling aja!” Anas menyeka airmata cepat-cepat. “Iya deh,
gue garing, tapi lu cengeng, Nas! Haha” tawa Nita semakin kencang. Senang
melihat sahabatnya bisa kembali menanggapi ledekannya. “Tuh, liat deh, gue bawa
kaca nih, liat tuh bibir udah lebih panjang dari hidung Pinokio. Gimana gue gak
ketawa? Haha.” Anas ikut tersenyum dan akhirnya tertawa bersama Nita. Anak
lelaki Anas ikutan tertawa.
Hidup
memang tidak selamanya sama. Bagaimanapun keadaannya, seorang sahabat akan
saling mengerti dan tetap mengasihi satu sama lain.
No comments:
Post a Comment