Wednesday, May 15, 2024

Guilt and Shame

Ada perkataan bijak berbunyi seperti ini, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" Kebenaran dari perkataan ini selalu relate di setiap zaman. Pada banyak kasus, mereka yang menyangka dirinya sangat teguh, justru yang pada akhirnya jatuh. Saya merasa sayalah salah satu dari mereka itu. Kejatuhannya tidak pada taraf yang ekstrim, tetapi akibatnya sangat mengganggu dan hampir putus asa. Di dalam hati ada gemuruh, tetapi di luar harus terlihat profesional dan tenang. 

Saya dihinggapi guilt and shame. Sebelumnya, saya hanya merasakan kedua emosi ini secara terpisah. Guilt atau perasaan bersalah terjadi karena saya melakukan sesuatu atau mengeluarkan perkataan yang salah, dan biasanya saya minta maaf atau memperbaiki perilaku. Shame atau rasa malu pernah saya rasakan ketika tindakan atau pikiran saya tidak selaras dengan identitas saya. Biasanya, perasaan itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Kali ini berbeda, saya merasakan keduanya di saat yang sama, dan sekali lagi saya katakan, itu sangat tidak nyaman. Saya tidak bisa tidur tenang dan beraktifitas dengan damai. Cuma satu pertanyaan di kepala saya, "Kok bisa?" Pertanyaan sederhana seperti itu menghasilkan efek yang dahsyat buat saya. "Kok bisa?" membuat saya menapak tilas di periode mana kemungkinan kesalahan itu dibuat dan dengan siapa saja saya sudah menceritakannya. "Kok bisa?" membuat saya mempertanyakan rasionalitas, perhitungan serta kewarasan sebagai wanita dewasa di umur yang tidak sedikit, yang seharusnya sudah bisa meramalkan yang akan terjadi. "Kok bisa?" membuat saya menyesali mengikuti hati dan mengambil (lagi) otak saya dalam membuat keputusan yang terlihat maupun tak terlihat. Bisa lihat kan? Pertanyaan sederhana itu tidak sesederhana itu untuk dijawab oleh saya.

Guilt and shame itu satu kesatuan yang bisa menghancurkan seseorang. Saya baru mengerti saat mengalaminya sendiri. Kesatuan dua emosi itu di dalam diri seseorang seperti kotoran yang bau, menjijikkan tetapi harus dibawa ke mana-mana. Efeknya bisa ke luar dan ke dalam. Ke dalam, saya merasa bodoh sekali, tidak percaya lagi pada diri, putus asa. Ke luar, saya merasa jantung berdebar lebih kencang, perut melilit, sakit kepala berkepanjangan. Perasaan itu nyata, senyata saya menuliskan pengalaman ini. Seperti kata-kata pembuka di atas, saya selama ini menyangka teguh berdiri, sehingga tidak hati-hati dan akhirnya jatuh, hancur, di dalam sana. Memang saya tidak sampai lari ke perbuatan negatif yang lain, itu satu hal yang akan saya sampaikan di bawah. Tetapi cukup membuat saya mengerti mengapa seseorang yang dilanda guilt and shame ini sampai mengakhiri hidup. Pada saat itu, saya tidak pergi berkonsultasi kepada siapa pun, selain saya memang tertutup tetapi saya tidak mau juga menambah kadar shame itu karena merasa sudah melanggar semua yang seharusnya menghindarkan semua kebodohan yang menciptakan guilt itu. 

Saya tahu siapa yang harus ditemui. Satu-satunya yang memberikan kata-kata ini: 

Marilah, baiklah kita beperkara! – firman TUHAN – Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.

Iya, Bapa saya yang di surga. Saya hanya duduk saja di sana, kadang berkata-kata, lebih banyak tidak berkata-kata. Sudahlah, tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. 

Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.

Sudah mengerti 'kan sekarang mengapa saya tidak lari ke tempat lain selain kepada Bapa saya. Seperti Raja Daud yang mendapatkan hukuman dari dosanya mengambil isteri orang lain, padahal dia seorang raja yang terhormat, saya pun lebih baik bersembunyi di balik-Nya. Saya meyakinkan diri bahwa kalau Tuhan sudah menerima saya kembali, saya pun wajib menerima diri saya.






No comments:

Post a Comment

Tidak Mau Tahu

Kami cenderung mendiskusikan hal-hal penting secara acak. Seperti pagi ini, saya dan rekan kerja sekaligus bestie membicarakan tentang space...