Ada perkataan bijak berbunyi seperti ini, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" Kebenaran dari perkataan ini selalu relate di setiap zaman. Pada banyak kasus, mereka yang menyangka dirinya sangat teguh, justru yang pada akhirnya jatuh. Saya merasa sayalah salah satu dari mereka itu. Kejatuhannya tidak pada taraf yang ekstrim, tetapi akibatnya sangat mengganggu dan hampir putus asa. Di dalam hati ada gemuruh, tetapi di luar harus terlihat profesional dan tenang.
Saya dihinggapi guilt and shame. Sebelumnya, saya hanya merasakan kedua emosi ini secara terpisah. Guilt atau perasaan bersalah terjadi karena saya melakukan sesuatu atau mengeluarkan perkataan yang salah, dan biasanya saya minta maaf atau memperbaiki perilaku. Shame atau rasa malu pernah saya rasakan ketika tindakan atau pikiran saya tidak selaras dengan identitas saya. Biasanya, perasaan itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Kali ini berbeda, saya merasakan keduanya di saat yang sama, dan sekali lagi saya katakan, itu sangat tidak nyaman. Saya tidak bisa tidur tenang dan beraktifitas dengan damai. Cuma satu pertanyaan di kepala saya, "Kok bisa?" Pertanyaan sederhana seperti itu menghasilkan efek yang dahsyat buat saya. "Kok bisa?" membuat saya menapak tilas di periode mana kemungkinan kesalahan itu dibuat dan dengan siapa saja saya sudah menceritakannya. "Kok bisa?" membuat saya mempertanyakan rasionalitas, perhitungan serta kewarasan sebagai wanita dewasa di umur yang tidak sedikit, yang seharusnya sudah bisa meramalkan yang akan terjadi. "Kok bisa?" membuat saya menyesali mengikuti hati dan mengambil (lagi) otak saya dalam membuat keputusan yang terlihat maupun tak terlihat. Bisa lihat kan? Pertanyaan sederhana itu tidak sesederhana itu untuk dijawab oleh saya.