I Korintus dituliskan oleh Paulus sekitar tahun 53–55 M ketika ia berada di Efesus (baca 1 Korintus 16:8). Korintus sendiri adalah kota metropolitan penting dalam Kekaisaran Romawi. Setelah dihancurkan pada 146 SM, kota ini dibangun kembali oleh Julius Caesar pada 44 SM dan menjadi koloni Romawi. Letaknya yang strategis di jalur dagang (isthmus Korintus) menjadikan kota ini pusat ekonomi, komersial, dan kebudayaan.
Jemaat Korintus didirikan oleh Paulus pada perjalanan misinya
yang kedua. Paulus tinggal di Korintus selama 1,5 tahun untuk mengajar
dan membangun jemaat. Setelah Paulus pergi, jemaat ini terus berkembang, tetapi
juga menghadapi banyak masalah, salah satunya perselisihan atau disunity.
Disunity atau perselisihan didefinisikan sebagai disagreement, conflict, not being able to agree about important things. Tidak mampu setuju mengenai hal-hal yang penting. Dalam jemaat Korintus hal-hal penting tersebut mengenai “para pemimpin” yang dipilih menjadi identitas jemaat. Mereka mengatakan “Kami mengikuti Paulus, Apolos, Kefas (Petrus), atau Kristus (1 Kor 1:10–17). Alasan menjadi pengikut seseorang itu menjadi sesuatu yang penting, bahkan jadi identitas jemaat adalah:
- Budaya
Yunani-Romawi yang mengagungkan retorika dan filsuf
- Di dunia Yunani saat itu, orang terbiasa menjadi “murid”
seorang guru filsafat atau orator terkenal. Identitas sosial mereka
sering dikaitkan dengan siapa gurunya. Jadi, ketika Paulus atau Apolos
berkhotbah, jemaat Korintus secara alami mengasosiasikan diri mereka
dengan tokoh yang mereka kagumi, sebagaimana mereka terbiasa dalam budaya
kota itu.
- Preferensi
gaya pelayanan para rasul/pelayan
- Paulus dikenal dengan pewartaan Injil yang kuat namun
sederhana (1 Kor. 2:1–5), sementara Apolos disebut “fasih berbicara” dan
“sangat mahir dalam Kitab Suci” (Kis. 18:24). Jemaat yang lebih terkesan
pada retorika mungkin lebih condong ke Apolos, sedangkan yang menghargai
fondasi kerasulan lebih setia ke Paulus.
- Kecenderungan
mencari status sosial
- Kota Korintus adalah kota dagang yang kosmopolitan, di mana
status dan kehormatan sangat penting. Mengaku sebagai pengikut Paulus
atau Apolos memberi semacam “status” dalam komunitas jemaat. Mereka bukan
hanya mengikuti ajaran rohani, tetapi juga menjadikannya sebagai simbol
prestise.
Selama saya menjelaskan tiga alasan tadi, apakah Bapak dan Ibu
merasakan adanya persamaan dengan situasi yang kita hadapi sekarang?
Paulus menyebut mereka “masih bayi dalam Kristus” (1 Kor.
3:1). Mereka belum matang secara rohani, sehingga lebih fokus pada manusia
ketimbang Kristus sendiri. Mereka masih dikuasai naluri dosa (bacakan TSI ayat 3). Akibatnya, identitas
mereka melekat pada pemimpin manusia, bukan pada Injil. Paulus menegaskan bahwa
“pelayan yang menanam ataupun yang menyiram tidaklah penting. Hanya Allah yang
penting, karena Dialah yang membuat bibit itu bisa bertumbuh” (TSI ayat 7).
Paulus menegaskan bahwa Yesuslah satu-satunya dasar sejati.
Kita semua membangun di atas dasr ini, jadi kita perlu hati-hati, jangan sampai
membangun di atas dasar yang lain dan dengan “bahan” apa kita meletakkan
pelayanan kita, emas, perak, dan batu permata atau kayu, rumput dan jerami?
Semua akan diuji Tuhan pada Hari Pengadilan.
Tambahan dari saya:
it takes a village to raise a child. And it takes a bunch of God’s fearful men
and women to raise a godly child. No room for disunity. Therefore, we need to
watch our work and work together with the mind of Christ is the one who’s
giving the growth.
No comments:
Post a Comment