Wednesday, October 14, 2020

Pencapaian

Beberapa kali, pesaing saya datang ke ruang kerja saya dan menceritakan dirinya sudah mendapatkan sekian pengikut dan hasil. Sebenernya, kalau tidak berulang-ulang diutarakan olehnya, hati dan mulut saya bisa sinkron untuk menyatakan pujian yang tulus atas pencapaiannya. Hanya saja, ia menceritakannya berulang-ulang, ditambah pertanyaan belagu yang menanyakan balik bagaimana pencapaian saya sendiri. Saya dengan jujur mengatakan jumlah, dan tatapan mata mengolok membuat saya jengah. Mau diusir, gak sopan, tapi hati saya sudah tidak nyaman. Saya mengikuti ceritanya itu sambil merasa dongkol dalam hati. Pencapaiannya menjadi olok-olok bagi saya.

Ada lagi kisah lain. Kabar saya yang sudah memiliki itu (suatu barang yang dianggap pencapaian seseorang) ternyata jadi bahan kepo salah satu saudara saya. Setelah sekian lama tidak saling berkabar, baik lewat gadget maupun langsung, itu saya lebih menarik perhatiannya. Saya cukup kaget mendengar kabar ini, tidak menyangka bahwa itu membuat saya 'menarik' untuk jadi bahan perbincangan. 

Saya juga suka mencapai sesuatu. Bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk merasa lebih berguna, lebih produktif, dibandingkan orang lain. Saya mengukur diri dari pencapaian, dan wajar saja yang lain juga demikian. It's very humane. Yang tidak manusiawi adalah ketika membanding-bandingkan tiap-tiap orang. Apakah dengan saya memiliki itu, sedangkan teman saya yang lain masih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan tetap membuat saya lebih di atas?

Pencapaian selalu menuntut tanggung jawab tambahan, mau tidak kita menerimanya satu 'paket'? Ketika berhasil mendapatkan itu, bersediakah saya memberikan waktu dan uang untuk perawatan/perbaikan/pelestarian/peningkatan? Peter Parker "Spiderman" punya kata-kata yang menarik,"With great power comes great responsibility", hal yang sama juga berlaku untuk pencapaian. Kalau saya dan kamu sudah dapat itu-itu yang bermacam-macam, tanggung jawabnya dalam bentuk apa?

At the end of the day, we know that achievement doesn't shape a human. 


Sunday, August 9, 2020

Sedih yang Anggun

Sudah 3 bulan kami menjalankan pekerjaan kantor dalam kondisi normal baru. Hari ini, Bapak itu datang lagi. Sudah dua kali sebenarnya. Sebenarnya ruangan si Bapak bukan di sini, tetapi beliau mengatakan mendapat 'feel' bekerja di ruang perpustakaan, yang berarti ruang saya. Saya sih senang aja ada teman, biarpun saya tidak merasa kesepian juga bekerja sendirian. Maklum saya INFJ, introvert yang suka juga berteman, meskipun tidak suka keramaian. 

Pagi ini, bisa dibilang jarang dilakukan, Bapak itu menyapa, agak serius pertanyaan yang dilontarkan. "How are you?" yah saya bilang aja donk, "Fine", tapi kemudian dia lanjutkan pertanyaan/pernyataan, "You look tired. Why?" Saya langsung mikir, pasti karena belum berias wajah. Saya jawab, "Yah, mungkin karena perjalanan jauh dari Jakarta." Dia bilang, "Oh, karena weekend ya." Saya jawab, "Iya." Terus beliau gak beranjak juga. Saya pikir, musti lontarin pertanyaan balik nih.

Wednesday, July 15, 2020

Rusa Merindukan Sungai

Tadi pagi, saat devosi bersama, saya mendengarkan penjelasan mengenai rusa yang merindukan sungai. Sebelumnya, saya hanya mengerti bahwa rusa yang merindukan sungai menggambarkan kerinduan akan Tuhan, kehausan yang harus, kudu saat itu juga dipenuhi. Namun ada penjelasan lain yang tak kalah menarik. Jadi, menurut penjelasan rekan kerja saya, rusa dapat menahan diri tidak minum hingga beberapa hari. Ketika kehausan, ia harus segera menemukan air. Sayangnya, tidak semua sumber air dapat diminum dengan tenang. Rusa memiliki bau yang khas dan kuat, yang menjadi 'penanda' bagi para predatornya untuk mendeteksi keberadaannya. Jika ingin minum air dengan tenang, si rusa harus ke sungai. Tidak hanya menunduk untuk minum, si rusa bisa berendam hingga berjam-jam di air itu. Dengan cara demikian, bau khas dan kuat dari rusa akan hilang. Air dari sungai (sumber yang tepat) tidak hanya memberikan kelegaan dari rasa haus, tetapi juga keselamatan. Saya kagum dengan gambaran ini. Menginginkan Tuhan sama seperti rusa merindukan sungai. Ketika mendapatkan Sumber yang tepat, Tuhan yang sejati, tidak saja rasa haus (a.k.a perasaan gelisah, takut, dan sebagainya) lenyap, tetapi juga di dalam Dia, ada pembasuhan dosa. Bau khas dan kuat dari dosa terhapus, dengan cara 'berendam' di dalam kasih-Nya. Ini mirip dengan sakramen baptisan, masuk ke dalam air, mati bersama Kristus, muncul dari air, dibangkitkan bersama Kristus. Ya, Sumber yang tepat itu adalah Kristus. Hanya Dia saja.  

Tuesday, June 23, 2020

Balada Bunga Cantik

Lihat di sana...
Bunga cantik tumbuh menjulang
Siapa tidak melihat dia?
Sekali lirik pun, kecantikannya tetap memikat

Angin menggoyangkan tangkai bunga itu
Bukannya patah
Bunga cantik menebarkan keharuman
Siapa tidak suka padanya?

Seorang manusia ingin memiliki bunga cantik
Dengan kuat, dijepitnya tangkai bunga itu
Dipatahkannya, dipisahkannya dari bunga lainnya
Untuk dibawa pulang, untuk disia-siakan

Manusia dan bunga cantik
Bunga itu masih di sana, di atas meja
Sesekali manusia itu masih meliriknya
Sesekali manusia itu masih menyentuhnya

Bertahun-tahun telah berlalu
Bunga itu masih di sana, manusia itu mencari bunga lain
Tangkainya mengering, kelopaknya gugur satu per satu
Dia masih bunga yang sama, meskipun kecantikannya telah usai

Aku memandang dari jauh, mendekat
Berkabung atas nasibnya
Kupikir dia sudah mati, aku salah
Aku mengendap-endap masuk ke rumah manusia itu

Kan kubawa kamu kembali, hai bunga cantik yang malang
Kembali ke padang rumput hijau dan air yang tenang
Kamu harus hidup, semoga Tuhan berkenan
Semoga Dia mengembalikan hidupmu







Tuesday, June 16, 2020

Rasis

Black Lives Matter!
White Superior!

Saya sih merasa miris ya membaca slogan atau mendengar teriakan bermuatan rasisme di TV yang menayangkan berita hangat terkini di Amerika Serikat. Setelah sekian lama merdeka, negara itu masih saja dihantui isu pelik masa lalu, perbedaan ras kulit hitam dan kulit putih. Karena isu ini mencuat kembali, Amerika Serikat seperti kembali ke masa sebelum Martin Luther King menyampaikan pidato "I have a dream". Peristiwa ini sejalan dengan negara-negara yang semakin menutup diri, tidak lagi saling bergantung, seperti tren globalisasi atau interdependensi beberapa tahun sebelumnya. 

Eh, ternyata rasis itu ada dimana-mana, termasuk di tempat kerja. Berbicara dalam bahasa daerah sementara orang lain yang berbeda suku ada di situ, bagi saya, cukup menyebalkan! Atau, berkumpul hanya dengan orang dari suku yang sama secara tidak langsung memberikan pernyataan, "Kamu orang luar!" Nah, yang paling sering dan dianggap lumrah adalah menyatakan salam dalam bahasa asing, padahal bahasa Indonesia sudah memiliki kalimat salam yang cukup baik, seperti "Selamat pagi/siang/sore!" atau kalau mau lebih akrab "Hai, apa kabar hari ini?"

Sunday, June 14, 2020

Kenapa Musti Menikah?

Kenapa Musti Menikah?

Akhir-akhir ini, gue sering menanyakan pertanyaan itu. Pendapat masyarakat pada umumnya, orang menikah dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan orang yang belum menikah. Mungkin, orang yang belum menikah dianggap tidak siap menerima komitmen dunia orang dewasa. Hanya saja, yang gue lihat di sekitar gue, orang menikah cenderung egois, hanya memikirkan keluarganya sendiri. Terkadang mereka juga nyebelin, merasa 'bertanggung jawab' dengan jodoh teman-temannya yang masih sendiri, berlomba-lomba jadi mak comblang, atau yang lebih buruk lagi, jadi perundung. Gimana gak dibilang perundung kalo tiap ketemu, atau tiap ada kesempatan, pasti diingatkan lagi tentang 'jodoh' atau memberi label 'dingin', 'kaku', 'sombong', 'pilah-pilih'. Oh ya, pernah juga nih temen gue buka rahasia. Dia pernah ngomongin gue ama beberapa temen cowok dan mereka heran kenapa gue belum menikah, padahal gue cantik.  (sengaja dicoret, biar gue gak terbang haha). Gue jawab aja, "Ah, lu jangan ngomong gitu donk. Gue jadi merasa bersalah." Jujur, gue emang merasa seperti melakukan kesalahan. 

Kalau gue sendiri sih, gue memutuskan untuk menikah. Bukan karena tekanan sana sini, itu pilihan gue. Gue juga punya kriteria yang gue bawa kepada Tuhan, bukan ke temen-temen atau saudara-saudara untuk dicarikan calon. Yah, gimana ya, biarpun umur gue segini, gue tetap gak bisa terima pandangan "kalau umur 20 tahun, masih bilang siapa gue. Kalau umur 30 tahun, siapa dia. Kalau 40 tahun, siapa saja". Duh, gak deh, gak siapa saja. Gue meresikokan hidup gue, masa depan gue. Gue tahu ini tidak mudah. Gue juga belajar sabar menghadapi orang-orang yang menghakimi gue dan kriteria gue. Ini gak semudah metik cabe, tetapi juga kalau sudah waktunya, bisa lebih mudah dari metik cabe. Lancar jaya semua urusan. Gue juga sadar betul dengan 'jam biologis'. Gue juga kepingin punya anak. Gue kepingin, meskipun gue gak grasak grusuk kebelet nikah. Pernah nih gue sok-sokan meratapi keadaan gue yang masih sendiri, sok melow gitu. Cuma gak bisa lama, emang gak sedih juga sih. Gue senang dengan hidup gue dan merasa tidak ada yang kurang. Kristus, sampai saat ini (dan gue yakin seterusnya), membuat gue merasa tidak berkekurangan. Jadi, kalau gue pengen menikah, yah karena gue pengen menikah.

Wednesday, June 10, 2020

Salam Alay (surel ketemu tanggal 7 Oktober 2010 antara gue dan sang 'tak dikenal')

SALAM ALAY ! J
= Alluw kag! Leh knal? Ap kBrx?

B = Wa'alaikumsalam Warohmatullahi Wabarokatuh...Dengan hormat,
sampainya pesan ini, saya akan memberitahukan bahwa kabar saya
baik-baik saja.... Maaf beribu-ribu maaf, Ini gerangan nomer siapa ya?
Kok acap kali sms nomernya ga ke save ya? (bales sepanjang mungkin)

A = Owh ea muuph lupa ng@s1h s4L4m,,,, Ini EnDoet LuThuwna EmbeM
C@ianK Cmu@na. Inged gag kag? Eh, kug blzna pjg bgd ch? Gi ng4ps?

Saturday, May 23, 2020

Raising Gen Z Summit

Sejak 19 Mei 2020 sampai hari ini (4 hari), gue ngikutin wawancara daring dengan orang-orang Kristen yang ahli di bidangnya masing-masing, seperti teknologi (Andy Crouch), pendidikan seks (Jackie Brewton dan David Galvan), pengembangan otoritas dalam rumah (Dr. Kathy Koch, bikin situs Connect bareng Kirk Cameron), parenting (Dr. Paul Tripp), dan konseling (Rick Warren). Gue dapat informasi dari sekolah, jadi gue pikir pasti akan berguna untuk pekerjaan gue yang menghadapi Gen Z. Awalnya, karena bukan bentuk seminar seperti biasanya, tapi dikemas dalam bentuk wawancara, gue pikir akan kurang menarik. Ternyata, pertanyaan yang diajukan dari Gen Z cukup kritis sehingga gue mendapat banyak masukan dari situ. Para narasumber juga terlihat serius, santai, antusias, terbeban, perpaduan antara kepandaian dan hati yang mau melayani Gen Z untuk menang dalam iman mereka.

Pengantar Summit itu dibawakan dengan sangat menarik oleh David Eaton sebagai presiden dan pendiri organisasi Axis. Dia mulai dengan topik pentingnya membuka "kotak" dari kehidupan para Gen Z. Tidak banyak orangtua yang tahu penyanyi bernama Billie Ellie, padahal di kalangan Gen Z, dia sangat terkenal. Gue sih pernah tahu dan gue sendiri bingung kok bisa ya penyanyi kayak gitu jadi favorit. Suaranya bagus sekali tetapi musik dan (ternyata) liriknya, bikin geleng kepala. Gue baru tahu. Secara garis besar, Eaton menyebutkan bahwa Gen Z itu generasi yang punya banyak pilihan, pertanyaan, ketakutan, hidup di masa sekarang. Media sosial banyak sekali mempengaruhi mereka. Bagaimana menolong mereka?

Friday, April 17, 2020

Malaikat Tanpa Sayap

Selama masa Kerja Dari Rumah, saya jadi punya banyak waktu merenung. Ternyata, memiliki keluarga tidak hanya menyenangkan, tetapi juga butuh kerja tambahan untuk saling menopang, terutama ketika ada anggota keluarga yang terdampak mata pencahariannya. Tidak punya uang itu rasanya tidak enak. Apalagi sekarang ini, semua urusan harus dihentikan demi 'diam di rumah', memutus pesebaran virus Covid-19. Sebagian diri saya bersyukur masih digaji, sekaligus khawatir, Sampai kapan? Saya tidak bisa membuka usaha sendiri, seperti yang lain. Sampai saat ini, saya tipe karyawan yang menerima gaji bulanan. 

Pikiran saya kembali ke masa lalu. Masa ketika saya belum mendapatkan kerja kantoran. Saya sudah lulus sarjana, dari universitas yang bagus, dengan jurusan yang menarik, hasil akademik sangat memuaskan. Saya pikir waktu itu tidak akan sulit mencari pekerjaan. Ternyata, saya harus menunggu kesempatan itu selama satu setengah tahun. Apakah selama itu saya minta uang dari orangtua? Mana tega. Mama sudah menjanda selama lebih dari tiga tahun. Mama saya wanita yang pandai mengatur uang, jadi meskipun ditinggal Papa, beliau tidak kekurangan, selain juga imannya bahwa Tuhan pasti mencukupkan segala kebutuhan kami. Saat itu, perasaan saya galau. Tidak punya uang, tetapi juga tidak mau meminta. 

Lalu, ada teman gereja yang mengelola jasa les privat. Saya ditawarkan pekerjaan itu. Meskipun sudah lama meninggalkan bangku sekolah wajib, saya masih bisa mengingat cara menyelesaikan soal matematika dan ilmu sains lainnya. Saya mendapat murid yang lokasi rumahnya jauh sekali dari rumah. Semua itu saya jalani yang penting saya punya uang sendiri. Uangnya bisa dipakai untuk mengirimkan lamaran kerja lewat kantor pos. Suatu kali, saya bawa uang pas untuk ongkos pergi mengajar saja karena memang hari itu seharusnya saya mendapatkan bayaran jasa saya. Sialnya, saya mendapatkan informasi orangtua dari murid yang saya ajar sedang tidak di rumah. Saya tidak mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos pulang, hanya Rp.1500,- saja. Sedangkan untuk mencapai angkot, saya harus naik ojek. Hari sudah sore, sudah menuju maghrib. Jalanan menuju angkot sepi, kanan kiri masih lahan kosong. Saya malu meminta ke murid saya. Akhirnya (aneh juga sih keputusan itu, kalau dipikir sekarang), saya memutuskan berjalan kaki. 

Di tengah jalan, masih tidak jauh dari rumah murid saya itu, seorang supir ojek motor, entah darimana, mendekati saya dari belakang. "Neng, ojek?" tanyanya. "Gak, Bang!" saya yakin menjawab, karena tidak ingin ditawarkan terus-menerus. Anehnya, dia terus saja mendesak alasannya, karena tahu jalan yang saya tempuh jauh sekali dan hari sudah sore. Beneran jauh. Akhirnya, saya berhenti, memandang dia, jujur berkata, "Saya gak punya uang, Bang." Anehnya lagi, dia menjawab, "Gak apa-apa Neng, saya anter!" Saya heran mendengarnya. Saya tegaskan lagi, "Saya beneran gak punya uang, Bang!" Dia malah menjawab balik, "Gak apa-apa, Neng!" Karena saya lihat dia sungguh-sungguh mau mengantarkan saya, akhirnya saya ikut juga. (Ini keanehan berikutnya. Saya tipe tidak mudah percaya tetapi saat itu tidak ada kecurigaan sedikit pun, kayak 'percaya aja deh'). Eh, bener loh, saya dihantarkan dengan selamat dan tidak kekurangan apapun. Saya ucapkan terima kasih terus menerus. Lalu, saya naik angkot pulang. 

Selama di perjalanan, di dalam angkot, saya merasa bingung. Kok ada ya, manusia baik banget kayak gitu. Dan kok bisa, dia mendatangi saya padahal saya tidak menunjukkan gelagat membutuhkan jasa dia. Dan kok bisa lagi, dia konsisten menanyakan saya alasan gak mau pakai jasa dia, dan waktu tahu saya gak punya duit, kok dia masih mau juga antar saya. Sebenernya saya masih merasa aneh dan bersyukur sampai hari ini. Mungkin kalau tidak ada Abang ojek itu, saya tidak akan selamat karena jalanan masih sepi dan banyak lahan kosong. Saya yang bodoh memutuskan berjalan kaki saja, dikirimkan oleh Bapa di surga, Malaikat tanpa sayap, Abang ojek yang bahkan namanya saja saya tidak tanya. Semoga Tuhan memberkati dia.

Kembali ke masa sekarang, saya ingin sekali anggota keluarga saya dan saya sendiri beriman bahwa Tuhan Yesus masih memperhatikan umat-Nya dan menyediakan pertolongan pada waktu-Nya. Dia, yang membelah lautan untuk bangsa Israel, masih melakukan mujizat sampai sekarang. Dia Tuhan yang sejati. Peristiwa saya ditolong Abang ojek tak dikenal menguatkan iman saya bahwa Tuhan Yesus mampu memberikan pertolongan, dari sumber yang tidak disangka-sangka. Sampai kapan pembatasan dalam pekerjaan dan kehidupan sosial dibatasi, saya juga tidak tahu. Saya juga khawatir, was-was. Mungkin, inilah saatnya saya menata ulang iman pada Kristus, bukan pada kemapanan finansial, atau ilmu, atau tubuh yang sehat sekali pun. Dia sang Penolong, Penopang Hidup sejati karena Dialah sang kehidupan.  

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap. 
Mazmur 121:1-8

Tuesday, April 14, 2020

Young, Wild, Free, and Careless

Yep, that's me in the middle right, folded arms with a confident smile! I really love this old picture of me. It brings back memories that almost forgotten. I think I was 20 something in this picture. I couldn't recall for what purpose we posed like this. Selfie-photo was not common at that time, so I guess there must be a special event before it was taken.

Monday, January 27, 2020

Mencintai Apa Adanya

Kamu ingin aku cintai apa adanya,
tetapi maaf, aku tidak bisa.
Menurutku, itu bukan cinta,
lebih tepatnya, ketidakpedulian.
Apa kamu tahu siapa dirimu?
Aku melihatmu, menyapamu, merajut hari bersamamu,
tidak cukup sampai di situ.
Aku terdengar menyebalkan karena ada protesku.
Ketika aku protes,
aku meresikokan diriku, hubungan kita.
Tetapi tidak mengapa,
itu lebih baik daripada diam dan mencibir di belakang.
Aku mungkin tidak mengenal kamu dengan baik,
ah kamu juga begitu terhadap dirimu.
Kalau kamu kenal dirimu,
pasti kamu setuju bahwa kamu itu menyebalkan.
Sekarang kamu pasti sedang ingin membalas,
"Kamu juga tidak selalu menyenangkan!?!?!"
Iya, iya aku memang tidak selalu menyenangkan.
Makanya, kita lupakan mencintai satu sama lain apa adanya.
Aku inginkan dirimu yang lebih baik.
Jika seseorang menggarap sebuah buku untuk diterbitkan,
ia butuh mata orang lain untuk melihat kekhilafan di situ.
Mengapa aku tidak bisa melakukannya kepadamu?
Aku pun butuh matamu untuk mencintai aku,
seperti aku mencintaimu
Jangan cintai aku apa adanya
Aku pun tidak ingin mencintaimu apa adanya.

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...