Tuesday, August 28, 2018

Empati

Ceritanya dimulai ketika si Pakde mengumumkan pendampingnya. Para pendukung Engkoh kecewa, saya salah satunya. Tapi saya lihat teman-teman udah pada bisa move on, sementara saya tidak. Gak berapa lama, muncul lagi kasus serupa dan Pakde tidak melakukan apa-apa, menurut saya. Meskipun semua teman-teman saya tetap berasumsi baik terhadap Pakde, gue berasumsi inilah buktinya kalau memang saya harus berpindah kubu. Tidak baik untuk tidak memilih. Baiklah, saya akan pilih selain Pakde. Semua teman-teman saya kaget karena menganggap saya melakukan tindakan konyol.  Tiap kali ada orang yang meledek pilihan saya karena tidak lagi memilih Pakde karena kecewa, saya selalu bilang punya alasan yang logis. Saya akan menjelaskan panjang lebar sampai akhirnya mereka 'menerima' pendapat gue.

Ketidakadilan. Masalah itu yang ada di pikiran saya. Ketika seorang yang tidak bersalah, dihujat, bahkan dihukum, sementara orang yang benar-benar salah dibiarkan pergi melenggang, itu bikin gue sakit hati. Menurut saya, Pakde gagal menegakkan keadilan, meskipun sangat besar jasanya dalam pemerataan kesejahteraan. Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan Tuhan daripada korban (Amsal 21:3). Pemimpin yang berani melakukan keadilan akan dijunjung dan diberkati. Dan, semua orang normal pasti menyukai keadilan. Buktinya, hampir semua orang setuju ketika pemberian penghargaan Nobel Perdamaian dibatalkan untuk Aung San Suu Kyi karena terbukti 'membiarkan' kejahatan terhadap manusia di Myanmar. 

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...