Wednesday, April 29, 2015

Hukuman Mati

Berita hangat yang mengisi sosmed akhir-akhir ini adalah berita tentang hukuman mati yang dikenakan bagi terpidana kasus narkoba di Indonesia. Mata dunia sedang menatap ke Indonesia. Negara-negara yang warganegaranya tertangkap berusaha melobi, dan tidak sendirian, PBB pun turut "membantu" usaha ini. Hal ini tidak mengubah keputusan yang ada. Akhirnya, kemarin, para terpidana ini menghadapi ajalnya, kecuali satu orang, Mary Jane V.

Saat berjalan kembali ke ruang kerja, pikiran saya melayang ke para terpidana ini. Lalu, saya mengandai-andaikan diri, sekiranya saya menjadi salah satu dari mereka, apa perasaan saya? Menyesal, pasti. Lalu, apakah saya merasa diperlakukan tidak adil? Mungkin juga. Serentetan sidang pengadilan yang saya lewati dengan harapan terlepas dari hukuman yang mengerikan ini terasa lama dan melelahkan. Namun, inilah satu-satunya cara agar saya terbebas, sehingga, mau tidak mau harus saya jalani juga.

Tuesday, April 28, 2015

Teladan

"Sayang sekali, teman saya itu mati dalam keadaan mengenaskan. Bukan hanya tubuhnya yang kacau wujudnya, tetapi juga karena teman saya itu tidak siap dengan kematian. Saya jadi berpikir, tidak adakah orang yang pernah mengatakan sesuatu kepada dia tentang kebenaran atau seseorang yang hadir di dalam hidupnya menjadi teladan?" 

Begitulah salah satu pembicara di gereja saya mengawali kotbah pagi itu. Saya jadi memikirkan kata-kata ini dan membandingkannya dengan pengalaman saya. Firman Tuhan memang sudah akrab di telinga saya sejak kecil, tetapi tanpa teladan orang-orang di sekitar saya, rasanya sulit juga untuk bertumbuh secara rohani. Yang paling menonjol adalah teladan dari orangtua dan pendeta saya. Mereka tidak hanya mengajari tetapi juga menghidupi Firman Tuhan yang sudah mereka terima. Jadi, saya meneladani (meniru) sikap mereka terhadap Firman Tuhan. 

Paulus menjadi teladan bagi Timotius, dan Timotius menjadi teladan bagi orang-orang percaya pada waktu itu. Tuhan Yesus menjadi teladan bagi para murid-Nya, dan para murid-Nya menjadi teladan bagi para murid yang lainnya. Begitu seterusnya hingga kini. Kekristenan ditandai dengan menjadi teladan satu sama lain. Tanpa teladan, Firman Tuhan hanya akan sampai di kepala, tanpa pernah menyentuh hati, tanpa pernah mengubahkan hidup.

Monday, April 6, 2015

Tuhan adalah TUHAN

Pagi ini, saya membaca Alkitab secara berurut lagi, sudah sampai pada pasal 12 kitab Kejadian. Seperti kita tahu, Kejadian adalah kitab sejarah, penuturannya naratif, dimulai dari kisah penciptaan dunia, kejatuhan manusia, pemusnahan lewat air bah, penyelamatan beberapa manusia untuk kemudian meneruskan sejarah, silsilah para penerus, para anak-anak Allah yang mengambil anak-anak manusia sebagai isteri, pembangunan menara Babel dan seterusnya.

Sampailah saya pada kisah Abram, nama pertama Abraham, bapa semua orang beriman. Sedikit biografi mengenai Abram: ayahnya bernama Terah dan ibunya tidak disebutkan namanya. Ia memiliki 3 saudara laki-laki Nahor dan Haran. Abram dan Nahor menikah. Nahor menikah dengan Milka, anak Haran (adiknya, paman menikahi keponakan?) Abram menikahi Sarai. Tuhan memanggil Abram untuk keluar dari rumah orangtuanya dan menjanjikan keturunan yang banyak.

Friday, April 3, 2015

Messy Spirituality: Kerohanian yang Kacau

"Rasanya saya bukan orang Kristen yang baik."

Apakah Anda merasa: saya tidak cukup berdoa. Saya kurang membaca Alkitab. Saya kurang bersaksi. Saya kurang mengasihi Allah. Saya kurang berkomitmen. Saya kurang rohani. 

Maka, buku ini untuk Anda. Messy Spirituality (Kerohanian yang Kacau/Berantakan - tergantung judul yang dipilih), ditulis bagi sebagian besar dari kita yang bungkam karena yakin dirinya tidak mempraktekkan kekristenannya dengan benar. Michael Yaconelli dengan berani mengatakan bahwa segala ketidaksempurnaan, ketidakrampungan, dan kekacauan, sesungguhnya adalah ciri kekristenan sejati; bahwa kekristenan sejati itu identik dengan kekacauan, kegalauan, kelabilan dan ... juga kemerdekaan begitu gemilang. 

Kehidupan yang Berdoa: a Praying Life

Marilah kita akui saja, berdoa itu sulit!

Bahkan, sebegitu sulitnya sehingga sebagian besar dari kita nyaris tidak pernah berdoa, kecuali saat ada yang sakit atau dalam situasi yang mengharuskan kita melakukannya di muka umum, misalnya doa sebelum makan bersama.

Akar dari ketiadaan doa ini adalah adanya suatu ketidakpercayaan mendasar. Hal ini dapat membentuk hidup kita, bahkan sebagai orang Kristen sekali pun. Tanpa doa, hidup kita seringkali dilanda rasa takut, cemas, tidak ada sukacita, dan kelesuan rohani. 

Jika ini yang Anda alami, maka buku ini cocok untuk Anda. Buku ini berisikan pengajaran Paul E. Miller dalam sebuah seminar populer Prayer Life, yang telah membangkitkan semangat ribuan orang Kristen untuk memiliki kehidupan doa yang bergairah. Ini, jelas, adalah buku yang cocok bagi semua orang Kristen yang ingin mengalami sukacita dan kuasa dari kehidupan doanya. 

Kita Berhutang

Setiap orang pasti punya pengalaman berhutang, setidaknya berhutang kepada ibu yang telah melahirkan dengan bersusah payah bahkan meresikokan nyawanya. Karena tidak memiliki tagihan yang macet dibayarkan di bank atau kepada seseorang, seringkali kita lupa kenyataan ini. Kenyataan bahwa sesungguhnya kita berhutang. Seringkali, kita hidup seperti air mengalir tanpa tujuan, tanpa tuntutan, karena menganggap hidup  ini milik kita, bukan sebuah hutang.

Lebih buruknya lagi, seringkali kita berpikir Tuhanlah yang berhutang dengan kita. Doa-doa yang berisikan permintaan, menyisakan sedikit ruang untuk mendengarkan keinginan Tuhan, itulah yang dipanjatkan. Mungkin kita berpikir, Tuhan sudah menciptakan saya berarti Dia bertanggung jawab memelihara saya. Pernyataan ini tidak salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Sakramen Pembasuhan Kaki

Gereja, pada umumnya, mengenal dan melakukan 2 sakramen penting, yaitu sakramen baptisan dan sakramen perjamuan kudus. Pada 3 April 2015, dan di tahun-tahun sebelumnya, saat jalanan di luar ruko macet berat sehabis hujan lebat yang turun cukup lama, saya dan beberapa anggota gereja berkumpul. Kami bergulat melawan kemacetan dan udara malam yang dingin untuk mengikuti sakramen ketiga, yaitu sakramen pembasuhan kaki. Foot-washing service, demikian kami menyebutnya. Biasanya, kami melakukannya sehari sebelum Paskah, memperingati wafatnya Kristus.

Setelah bernyanyi bersama, Pak Pendeta membacakan satu pasal yang menceritakan tentang Yesus Kristus yang membasuh kaki para murid-Nya. Lalu, tidak seperti biasanya, Pak Pendeta tidak memberikan penjelasan apapun, melainkan meminta komentar kami tentang pasal yang kami baca. Seorang teman memberikan komentarnya bahwa Tuhan Yesus saja mau melayani dengan mencuci kaki, suatu pekerjaan yang kotor. Saya berkomentar tentang 'kesalahpahaman' saya mengira bahwa para pemimpinlah yang seharusnya mencuci kaki orang yang dipimpin. Di ayat 10 dikatakan bahwa seorang hamba tidak lebih dari tuannya. Sehingga, saya berbalik pengertian, tugas mencuci kaki dilakukan oleh para hamba (pengikut Kristus yang masih ada di dalam dunia ini). Sedangkan, teman yang lainnya mempertanyakan permintaan Petrus agar Yesus Kristus membasuh juga tubuhnya dan dijawab dengan penolakan oleh Tuhan Yesus karena tidak perlu.

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...