Monday, July 24, 2017

Hidup Mulai di Usia 40

Gue bersyukur untuk usia 40 tahun yang dianugerahkan Tuhan untuk gue. Gue masih dalam keadaan waras, sehat dan penuh pujian kepada Tuhan. Meskipun gue perhatikan, akhir-akhir ini gue gampang emosian. Alasan gue emosian juga pasti bisa diterima ama orang banyak kalau gue ceritakan. Gue pengen cerita tentang satu persoalan aja ya, pertemanan.

Dari dulu, gue gak pernah punya banyak teman. Kenalan banyak, teman sedikit. Jadi gue bersyukur dan menghargai pertemanan. Gue sering menganggap teman gue itu saudara gue. Emang gak semua hal gue ceritakan ke teman gue. Itu juga ada alasan kuatnya, terutama untuk menjaga perasaan teman gue. Masalahnya, belakangan gue merasa bertepuk sebelah tangan. Gue menganggap dia saudara, dia gak anggap gue saudara. Belakangan gue sering berpikir, kok bisa ya? Ujung-unjungnya, gue berkesimpulan, tidak ada yang abadi di dunia ini, bahkan pertemanan.

Kemarin itu, gue menyimpan kemarahan. Di kepala gue ada adegan memaki orang itu dan berjanji untuk tidak lagi berurusan dengan orang itu. Tuhan tahu gue sangat marah. Gue benci dengan orang dewasa yang kekanak-kanakan dalam pemikiran dan perbuatan. Dia memperlakukan gue seolah-olah tidak pernah ada hubungan di antara kami, tanpa penjelasan. Orang dewasa itu teman gue. Saudara gue. Gue marah, sekaligus sedih.

Thursday, July 13, 2017

Orang Berhasil (Tidak) Sukses Sekolah

A: Dia pinter loh, suma cum laude di sekolahnya.
B: Gue kasih tau ya ama lu, orang-orang sukses itu gak ada yang berhasil di sekolah. 
A: Yah, gak gitu jugalah. Orang itu harus sekolah supaya pikirannya terbuka dan bisa sukses.
B: Kata siapa? Coba, lu kasih contoh orang sukses yang berhasil di sekolah.

Gue gak tau jawabannya. Miris sih hati gue karena gue sedang menggebu-gebunya melanjutkan studi. Beberapa kejadian selama semester 1 berjalan membuat gue memikirkan lagi percakapan di atas tadi.

Di benak gue, pendidikan haruslah membebaskan, terutama pikiran dan kemampuan yang ada di dalam diri setiap murid. Kenyataannya, ini sih yang gue alami ya, waktu gue kuliah S1, gue bengong di kelas. Gak ngerti karena gak suka. Gak ngerti pelajaran sampai gue baca sendiri buku-buku yang disarankan. Akhirnya, gue suka juga sih. Sambil ikutan kegiatan mahasiswa pecinta alam, praktis gue menjalankan 2 'kuliah'. FYI, kegiatan kemahasiswaan gue itu menuntut pertanggungjawaban perencanaan dan pelaksanaan selayaknya maju sidang skripsi.

Ketika gue baca buku-buku itu, pikiran gue berkembang. Itu yang gue tuliskan di paper tugas dan ujian. Hasilnya bagus? Gak. Dan, gue gak tau salahnya apa karena gue gak pernah dapat feedback dari dosen. Gue mikir sendiri aja gimana caranya biar bisa mendongkrak nilai supaya gak seperti ukuran bolpen rotring, alias satu koma. Itu istilah yang kami pakai dulu.

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...