Friday, April 17, 2020

Malaikat Tanpa Sayap

Selama masa Kerja Dari Rumah, saya jadi punya banyak waktu merenung. Ternyata, memiliki keluarga tidak hanya menyenangkan, tetapi juga butuh kerja tambahan untuk saling menopang, terutama ketika ada anggota keluarga yang terdampak mata pencahariannya. Tidak punya uang itu rasanya tidak enak. Apalagi sekarang ini, semua urusan harus dihentikan demi 'diam di rumah', memutus pesebaran virus Covid-19. Sebagian diri saya bersyukur masih digaji, sekaligus khawatir, Sampai kapan? Saya tidak bisa membuka usaha sendiri, seperti yang lain. Sampai saat ini, saya tipe karyawan yang menerima gaji bulanan. 

Pikiran saya kembali ke masa lalu. Masa ketika saya belum mendapatkan kerja kantoran. Saya sudah lulus sarjana, dari universitas yang bagus, dengan jurusan yang menarik, hasil akademik sangat memuaskan. Saya pikir waktu itu tidak akan sulit mencari pekerjaan. Ternyata, saya harus menunggu kesempatan itu selama satu setengah tahun. Apakah selama itu saya minta uang dari orangtua? Mana tega. Mama sudah menjanda selama lebih dari tiga tahun. Mama saya wanita yang pandai mengatur uang, jadi meskipun ditinggal Papa, beliau tidak kekurangan, selain juga imannya bahwa Tuhan pasti mencukupkan segala kebutuhan kami. Saat itu, perasaan saya galau. Tidak punya uang, tetapi juga tidak mau meminta. 

Lalu, ada teman gereja yang mengelola jasa les privat. Saya ditawarkan pekerjaan itu. Meskipun sudah lama meninggalkan bangku sekolah wajib, saya masih bisa mengingat cara menyelesaikan soal matematika dan ilmu sains lainnya. Saya mendapat murid yang lokasi rumahnya jauh sekali dari rumah. Semua itu saya jalani yang penting saya punya uang sendiri. Uangnya bisa dipakai untuk mengirimkan lamaran kerja lewat kantor pos. Suatu kali, saya bawa uang pas untuk ongkos pergi mengajar saja karena memang hari itu seharusnya saya mendapatkan bayaran jasa saya. Sialnya, saya mendapatkan informasi orangtua dari murid yang saya ajar sedang tidak di rumah. Saya tidak mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos pulang, hanya Rp.1500,- saja. Sedangkan untuk mencapai angkot, saya harus naik ojek. Hari sudah sore, sudah menuju maghrib. Jalanan menuju angkot sepi, kanan kiri masih lahan kosong. Saya malu meminta ke murid saya. Akhirnya (aneh juga sih keputusan itu, kalau dipikir sekarang), saya memutuskan berjalan kaki. 

Di tengah jalan, masih tidak jauh dari rumah murid saya itu, seorang supir ojek motor, entah darimana, mendekati saya dari belakang. "Neng, ojek?" tanyanya. "Gak, Bang!" saya yakin menjawab, karena tidak ingin ditawarkan terus-menerus. Anehnya, dia terus saja mendesak alasannya, karena tahu jalan yang saya tempuh jauh sekali dan hari sudah sore. Beneran jauh. Akhirnya, saya berhenti, memandang dia, jujur berkata, "Saya gak punya uang, Bang." Anehnya lagi, dia menjawab, "Gak apa-apa Neng, saya anter!" Saya heran mendengarnya. Saya tegaskan lagi, "Saya beneran gak punya uang, Bang!" Dia malah menjawab balik, "Gak apa-apa, Neng!" Karena saya lihat dia sungguh-sungguh mau mengantarkan saya, akhirnya saya ikut juga. (Ini keanehan berikutnya. Saya tipe tidak mudah percaya tetapi saat itu tidak ada kecurigaan sedikit pun, kayak 'percaya aja deh'). Eh, bener loh, saya dihantarkan dengan selamat dan tidak kekurangan apapun. Saya ucapkan terima kasih terus menerus. Lalu, saya naik angkot pulang. 

Selama di perjalanan, di dalam angkot, saya merasa bingung. Kok ada ya, manusia baik banget kayak gitu. Dan kok bisa, dia mendatangi saya padahal saya tidak menunjukkan gelagat membutuhkan jasa dia. Dan kok bisa lagi, dia konsisten menanyakan saya alasan gak mau pakai jasa dia, dan waktu tahu saya gak punya duit, kok dia masih mau juga antar saya. Sebenernya saya masih merasa aneh dan bersyukur sampai hari ini. Mungkin kalau tidak ada Abang ojek itu, saya tidak akan selamat karena jalanan masih sepi dan banyak lahan kosong. Saya yang bodoh memutuskan berjalan kaki saja, dikirimkan oleh Bapa di surga, Malaikat tanpa sayap, Abang ojek yang bahkan namanya saja saya tidak tanya. Semoga Tuhan memberkati dia.

Kembali ke masa sekarang, saya ingin sekali anggota keluarga saya dan saya sendiri beriman bahwa Tuhan Yesus masih memperhatikan umat-Nya dan menyediakan pertolongan pada waktu-Nya. Dia, yang membelah lautan untuk bangsa Israel, masih melakukan mujizat sampai sekarang. Dia Tuhan yang sejati. Peristiwa saya ditolong Abang ojek tak dikenal menguatkan iman saya bahwa Tuhan Yesus mampu memberikan pertolongan, dari sumber yang tidak disangka-sangka. Sampai kapan pembatasan dalam pekerjaan dan kehidupan sosial dibatasi, saya juga tidak tahu. Saya juga khawatir, was-was. Mungkin, inilah saatnya saya menata ulang iman pada Kristus, bukan pada kemapanan finansial, atau ilmu, atau tubuh yang sehat sekali pun. Dia sang Penolong, Penopang Hidup sejati karena Dialah sang kehidupan.  

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi. Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap. 
Mazmur 121:1-8

Tuesday, April 14, 2020

Young, Wild, Free, and Careless

Yep, that's me in the middle right, folded arms with a confident smile! I really love this old picture of me. It brings back memories that almost forgotten. I think I was 20 something in this picture. I couldn't recall for what purpose we posed like this. Selfie-photo was not common at that time, so I guess there must be a special event before it was taken.

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...