Tuesday, September 30, 2014

The Crucified Life

A.W. Tozer, nama ini pertama kali saya baca di artikel renungan harian yang sedang saya terjemahkan. Di renungan itu, saya mendapatkan kesan beliau adalah salah satu ahli teologia terkemuka di jamannya. Saya merasa harus tahu karena sebagai seorang pustakawan, saya perlu kenal (setidaknya) sepintas tentang penulis-penulis terkenal. Tanpa direncanakan, seorang teman yang memiliki toko buku meminta saya memberikan resensi sebuah buku yang menjadi salah satu calon buku untuk diterjemahkan. Dia bilang buku ini sedang naik daun di negara asalnya, Amerika Serikat, dan sekarang diminati oleh para pembaca buku-buku "berat". 

The Crucified Life (A.W. Tozer)The Crucified Life, judul yang kuat digabungkan dengan sampul buku bergambar paku-paku yang disusun membentuk salib. Saya teringat kisah Yesus Kristus yang disalibkan dengan paku-paku itu. Saya merasa ngeri untuk membacanya tetapi saya harus karena sudah berjanji dengan teman saya.
Sebelum mengulas buku ini, saya ingin menceritakan sedikit biografi A.W. Tozer. Beliau lahir dari keluarga miskin sehingga kalaupun ia meraih gelar doktor dari Wheaton College, itu karena anugerah Tuhan dan kerja kerasnya. Ia dan isterinya, Ada Cecelia Pfautz, serta ketujuh anaknya berkomitmen untuk hidup dalam kesederhanaan. Baginya, kalau ada makanan, pakaian dan buku, cukuplah. Keluarga ini tidak pernah punya mobil. Semua royalti yang diperoleh sebagai penulis dialihkan dananya kepada orang-orang yang membutuhkan.

Di bagian pendahuluan, penulis-penulis modern seperti J.I. Packer dan James L. Snyder memberikan julukan kepada A.W. Tozer sebagai Man of God karena kotbah-kotbah dan buku-bukunya berisi ajakan agar Gereja kembali pada esensi mengikut Yesus Kristus, yaitu menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia.

Karena 'iklan' teman saya yang mengatakan buku ini mulai banyak dicari orang-lah, saya mau membacanya. Di halaman-halaman awal, saya salah prasangka buku ini sebagai salah satu buku-buku teologia yang berisi pengajaran sehingga saya merasa bosan. Saya tidak ingat setelah halaman ke berapa, saya merasa tulisan itu ditujukan kepada diri saya. Biarpun ditulis di awal abad 19, peristiwa-peristiwa yang dikemukakan masih relevan.

Setiap bab diawali dengan kutipan ayat Alkitab dan diakhiri dengan lirik lagu-lagu himne (yang kebanyakan saya lewati karena menggunakan bahasa Inggris kuno) yang meneguhkan isi bab. Penyampaian yang tajam tentang kenyataan mengikut Kristus membuat saya menilai keadaan rohani diri, itu tidak dapat dihindari. Ada beban yang menggantung.

Syukurlah, di bab akhir, Tozer juga memberikan 'solusi' atau 'penawar' terhadap 'kenyataan pahit' atau 'rasa sakit' akibat banyaknya hal yang perlu diperbaiki dari kehidupan kekristenan, baik individu maupun komunal di dalam gereja. Buku ini salah satu yang tidak membiarkan saya tidur jika belum selesai membacanya. Buku ini sangat memberkati saya. Saat teman saya yang memiliki toko buku rohani bermaksud menerjemahkan buku ini, saya langsung kasih rekomendasi 5 bintang.

Highly recommended !!!


No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...