Wednesday, May 4, 2011

Kisah Sebuah Telepon Genggam


“Sudah dibuang aja tuh henpon, malu-maluin lo masih pake itu,” teriak Dendi dari dalam kamar. Kinar menganggapi jawaban adiknya tanpa kata, membolak-balik telepon genggam miliknya yang bentuknya tidak wajar. Baterai telepon genggam itu menggelembung akibat di-charge semalaman.


Sebuah teknologi buatan Cina dengan keunggulan dual simcard, CDMA dan GSM. Ukuran setelapak tangan, pas sekali dengan sebutannya, TELEPON GENGGAM. Berbeda dengan telepon-telepon genggam yang sedang in sekarang, tidak bisa digenggam, terlalu lebar. 

Kinar merasa sayang untuk membuang telepon genggamnya  Sudah banyak nomor penting tersimpan di dalamnya. Dia juga sudah sangat terbiasa dengan fitur-nya dan letak karakter huruf di dalamnya. Bahkan dia sudah mampu mengetik isi pesan singkat tanpa melihat keypad. Kinar berani ikut lomba adu cepat mengetik isi pesan singkat tanpa melihat keypad-nya !

Jadi tidak berlebihan kalau Kinar merasa telepon genggamnya adalah teknologi yang paling mengerti dan dimengerti dirinya. Masalahnya sekarang, tidak satupun dari orang-orang terdekat Kinar yang menyetujui pendapatnya ini. Mereka berpendapat Kinar punya cukup dana untuk membeli jenis yang jauh lebih beradab. Kinar mencoba berkelit dengan membeberkan serangkaian alasan-alasan yang kuat dan masuk akal. Dan mereka semua menyerah.

Sekarang Kinar yang menanggung akibatnya. Telepon genggamnya sudah tidak mampu lagi mengirimkan pesan ataupun bertahan hidup saat digunakan untuk bercakap-cakap. Banyak penundaan, kegagalan akibat tidak mulusnya komunikasi antara Kinar dengan keluarga ataupun teman-temannya. Kinar berusaha membujuk adiknya Dendi untuk mencarikan baterai pengganti. Dendi menolak mentah-mentah karena dialah orang yang paling sengit memprotes keberadaan telepon genggamnya. 

“Hape tuh penting banget, supaya komunikasi lancar. Kalo ada berita mendadak kan bisa langsung dikasih tau. Bisa membantu kelancaran bisnis segala. Ngapain sih lo mempertahankan hape jelek lo it?” lanjut Dendi masih dari dalam kamar. Keegoan Kinar terluka, selama ini dia terlalu percaya semua keyakinannya. When there is a will, there is a way.  Padahal masih ada nothing lasts forever. 

Konyol memang bagaimana seseorang bisa merasa ‘nyaman’ di dalam ketidaknyamanan. Seringkali kesemrawutan hidup hanya karena tidak mau keluar dari zona nyaman ini untuk menyambut keberuntungan yang baru. Keluar dari zona nyaman membutuhkan ketekunan dan konsistensi. Hasil terbaik menjadi milik mereka yang bertahan dan menang.

Betapapun beratnya keputusan itu, Kinar harus berbesar hati melepaskan telepon genggamnya dan menyambut yang baru. Perubahan memang sulit tapi perlu. Perlu untuk peningkatan kualitas hidup dan pengembangan wawasan. Benar kata orang, barangsiapa menolak perubahan bersiaplah untuk dilindas olehnya.

Yang lalu biarlah berlalu, sesungguhnya, yang baru sudah datang.

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...