Tuesday, April 4, 2023

The Good Doctor

Lagi bingung mikir mau nonton film apa di Netflix, eh terlintas ide nonton The Good Doctor yang versi original, dari Korsel. Gak lama, gue dapat pengalaman hidup yang sedikit banyak sama dengan yang ada di film itu. Park Si-On, si dokter unik itu, sejauh episode yang gue udah tonton (episode 12), berusaha menjadi dokter yang baik dengan kondisinya sebagai penderita sindrom savant. Dia hanya punya satu tujuan, mengobati orang sakit dan memberikan kesempatan untuk hidup. Tujuan mulia, bukan? Dan, gue rasa semua pasti setuju, seorang dokter yang baik harus memiliki pemikiran seperti ini. 

Park Si-On, dibantu oleh direktur rumah sakit Sungwon Univerity, dr. Choi Woo-Seok, akhirnya diterima bekerja di situ. Dr. Si-On mendapatkan kesempatan 6 bulan masa percobaan dengan taruhan pengunduran diri dr. Choi jika ternyata gagal. Tujuan mulia yang dimiliki dr. Si-On dan didukung oleh kejeniusannya mendiagnosa tidak membuatnya menjalani masa percobaan itu dengan mulus. Dia harus berusaha menjadi seorang 'dokter' dan bukannya robot seperti yang dikatakan oleh dr. Do Han. 

Seperti dr. Yoon-Seo, sahabat dr. Si-On, gue juga bingung apa maksudnya menjadi 'dokter'. Menurut gue, semua yang dilakukan oleh dr. Si-On udah bener banget, bahkan di luar ekspektasi dalam arti yang baik. Gue merasa dr. Si-On diperlakukan tidak adil oleh hampir semua rekannya di departemen anak. Ternyata oh ternyata, tidak sesederhana itu dunia ini bergerak. Intinya sih, sebatas otak gue mencerna ya, dr. Si-On harus tahu prosedur, dan meskipun keputusannya benar dan tepat tetapi jika tidak sesuai prosedur, ya, tetap salah. Dan, ada aja orang-orang seperti dr. Do Han yang belum bisa memisahkan antara pekerjaan dan masalah pribadinya. Dia berusaha memulangkan dr. Si-On dan 'memaksa' untuk menjadi orang biasa-biasa saja karena trauma dengan kematian adiknya. 

Menyebalkan sih, menurut gue. Lu dipaksa pilih antara yang seharusnya dan yang prosedural. Lu dipaksa memenuhi agenda pribadi atasan lu. Menyebalkan banget, cuma kalau mau bertahan, lu harus pandai 'bermain' di antara kedua hal ini. Lama-lama, lu bisa menjadi seperti orang-orang yang cari aman saja, tidak lagi peduli dengan tujuan mulia. Dan, inilah yang terjadi di lingkungan gue. Pilihannya cuma "you stay and fight the good fight, and the rest might not be happy with you, and you might be lose somewhere during the battle" or "you leave all behind and start a new life, forget all that makes your life miserable".

Pagi ini, gue mendengarkan Firman Tuhan dari Matius 26:42, jadilah kehendak-Mu! Pertanyaan yang diajukan pagi ini, langsung ke hati gue, apakah masalah membuatmu menjauh dari Allah dan mencari jalan keluarmu sendiri? Apakah kamu menginginkan kehendak Allah saja yang terjadi sebagai akhir dari masalahmu? For now, I need to think and examine my heart. Gue jadi cenderung sibuk ama jalan keluar gue sendiri dan menyalahkan diri karena terlibat dalam 'peperangan' ini. Hati gue tidak mencari Tuhan :( Pertanyaan yang kedua, certainly not. I must repent.



No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...