Tuesday, June 16, 2020

Rasis

Black Lives Matter!
White Superior!

Saya sih merasa miris ya membaca slogan atau mendengar teriakan bermuatan rasisme di TV yang menayangkan berita hangat terkini di Amerika Serikat. Setelah sekian lama merdeka, negara itu masih saja dihantui isu pelik masa lalu, perbedaan ras kulit hitam dan kulit putih. Karena isu ini mencuat kembali, Amerika Serikat seperti kembali ke masa sebelum Martin Luther King menyampaikan pidato "I have a dream". Peristiwa ini sejalan dengan negara-negara yang semakin menutup diri, tidak lagi saling bergantung, seperti tren globalisasi atau interdependensi beberapa tahun sebelumnya. 

Eh, ternyata rasis itu ada dimana-mana, termasuk di tempat kerja. Berbicara dalam bahasa daerah sementara orang lain yang berbeda suku ada di situ, bagi saya, cukup menyebalkan! Atau, berkumpul hanya dengan orang dari suku yang sama secara tidak langsung memberikan pernyataan, "Kamu orang luar!" Nah, yang paling sering dan dianggap lumrah adalah menyatakan salam dalam bahasa asing, padahal bahasa Indonesia sudah memiliki kalimat salam yang cukup baik, seperti "Selamat pagi/siang/sore!" atau kalau mau lebih akrab "Hai, apa kabar hari ini?"


Meskipun saya benci dengan rasis, ternyata saya sering menjadi rasis. Misalnya, saya pernah bilang, "Lu malu-malu kayak orang Jawa!", atau "Yah, emang gue keras gini karena gue Batak!", atau "Bule mah emang bebas, gak pake aturan hidupnya!" Bagi saya, itu kenyataan, tetapi bagi orang Jawa yang berani atau orang Batak yang lemah lembut, atau pun bagi orang berkulit putih, penyebutan "bule" berarti menyamakan orang kulit putih dengan kerbau yang kekurangan pigmen, pernyataan gue ini menyakitkan. Dan, memang ada keinginan membenarkan ras saya sendiri dan menganggap ras lainnya inferior sehingga boleh diperlakukan tidak hormat. 

Pernah suatu masa dalam hidup, saya menjalin hubungan dengan orang Belanda. Sewaktu berbicara mengenai pengalaman percintaan, dia mengaku sudah melakukan seks karena memang dia dibesarkan di negara yang menganggap hal itu lumrah. Pernyataan dia membuat saya stres. Saya suka dia tetapi tidak dapat membayangkan membangun keluarga bersama dia dan di negaranya. Setelah putus dari dia, saya takut dengan orang asing. Saya tidak mengerti kehidupan mereka, secara literal. Kesan itu terus saya simpan sampai saya bertemu dengan beberapa orang asing di gereja, Kathy, Ps. Chris, Ps. Rory. Dari Ps. Chris, saya pernah ditegur karena memberi pernyataan, "Oh, orang Manado emang gitu, cuma suka pesta-pesta". "Kamu rasis", katanya. Waktu itu, saya pikir "Ih, berlebihan banget sih!" Dan ketiga orang asing itu, seiring dengan semakin sering bertemu dan berbincang-bincang, saya jadi tahu, mereka sama saja dengan saya, sama-sama manusia. Mereka punya nilai moral yang dipegang, dan rasanya tidak banyak berbeda dengan orang Indonesia. Saya pernah baru tersadar bahwa warna kulit Kathy berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia, karena ada sekelompok anak kecil panggil Kathy, "Mister!" Saya bisa menerima dia seperti ras (bangsa) saya sendiri. 

Coba kita periksa lagi ke dalam diri, apakah benar saya (kita) bukan rasis? Bagaimana dengan sikap, pikiran, bahasa yang disampaikan, apakah sudah bebas dari 'virus' rasis? Dalam Kisah Para Rasul 10:34, 35, Petrus baru menyadari  pikiran rasis yang ada padanya dan akhirnya membuat pernyataan ini, "Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: "Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya." Dalam bagian ini, Petrus mendapatkan pembaharuan pikiran. Tadinya ia memegang aturan Yahudi yang melarang bergaul dengan bangsa lain karena mereka dianggap najis atau tidak tahir. Tuhan yang mengasihi semua bangsa melarangnya memegang prinsip itu karena Injil harus diberitakan kepada semua orang. Rasisme berbahaya karena bisa menghalangi berkat yang seharusnya diterima oleh seseorang. Tuhan sendiri menyatakan sebagai Pribadi yang tidak membeda-bedakan, atau pandang bulu. Penghakiman-Nya tidak bersifat rasis.

Sudahkah kita bebas dari dosa rasisme?

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...