Sunday, June 14, 2020

Kenapa Musti Menikah?

Kenapa Musti Menikah?

Akhir-akhir ini, gue sering menanyakan pertanyaan itu. Pendapat masyarakat pada umumnya, orang menikah dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan orang yang belum menikah. Mungkin, orang yang belum menikah dianggap tidak siap menerima komitmen dunia orang dewasa. Hanya saja, yang gue lihat di sekitar gue, orang menikah cenderung egois, hanya memikirkan keluarganya sendiri. Terkadang mereka juga nyebelin, merasa 'bertanggung jawab' dengan jodoh teman-temannya yang masih sendiri, berlomba-lomba jadi mak comblang, atau yang lebih buruk lagi, jadi perundung. Gimana gak dibilang perundung kalo tiap ketemu, atau tiap ada kesempatan, pasti diingatkan lagi tentang 'jodoh' atau memberi label 'dingin', 'kaku', 'sombong', 'pilah-pilih'. Oh ya, pernah juga nih temen gue buka rahasia. Dia pernah ngomongin gue ama beberapa temen cowok dan mereka heran kenapa gue belum menikah, padahal gue cantik.  (sengaja dicoret, biar gue gak terbang haha). Gue jawab aja, "Ah, lu jangan ngomong gitu donk. Gue jadi merasa bersalah." Jujur, gue emang merasa seperti melakukan kesalahan. 

Kalau gue sendiri sih, gue memutuskan untuk menikah. Bukan karena tekanan sana sini, itu pilihan gue. Gue juga punya kriteria yang gue bawa kepada Tuhan, bukan ke temen-temen atau saudara-saudara untuk dicarikan calon. Yah, gimana ya, biarpun umur gue segini, gue tetap gak bisa terima pandangan "kalau umur 20 tahun, masih bilang siapa gue. Kalau umur 30 tahun, siapa dia. Kalau 40 tahun, siapa saja". Duh, gak deh, gak siapa saja. Gue meresikokan hidup gue, masa depan gue. Gue tahu ini tidak mudah. Gue juga belajar sabar menghadapi orang-orang yang menghakimi gue dan kriteria gue. Ini gak semudah metik cabe, tetapi juga kalau sudah waktunya, bisa lebih mudah dari metik cabe. Lancar jaya semua urusan. Gue juga sadar betul dengan 'jam biologis'. Gue juga kepingin punya anak. Gue kepingin, meskipun gue gak grasak grusuk kebelet nikah. Pernah nih gue sok-sokan meratapi keadaan gue yang masih sendiri, sok melow gitu. Cuma gak bisa lama, emang gak sedih juga sih. Gue senang dengan hidup gue dan merasa tidak ada yang kurang. Kristus, sampai saat ini (dan gue yakin seterusnya), membuat gue merasa tidak berkekurangan. Jadi, kalau gue pengen menikah, yah karena gue pengen menikah.


Jadi, gue sedang mempersiapkan diri untuk menikah. Belum tahu kapan dan dengan siapa. Tapi, rencana kan butuh persiapan jadi gue baca dulu lah buku yang pernah dikasih rekan kerja. Plus, interviu singkat dengan satu orang, dan berencana menambah lagi ke beberapa orang. Gue tanya, "Apa sih menikah itu? Asik gak?" Jawaban yang gue dapat singkat dan mengindikasikan gak enak. Well, gue pernah denger juga sih orang menikah tuh diam-diam iri ama orang single makanya mereka senang mem-bully para single supaya cepat menikah. Eh, terus gue dapat artikel daring yang viral, yang menurut gue emang layak viral tentang pernikahan. Intinya sih jangan ngimpi pernikahan itu memberikan semua keinginan kita, justru bikin 'susah', perlu kerja keras, kerjasama, pengorbanan, supaya bisa jalan bareng terus.


Kemarin, gue udah selesai baca buku Timothy dan Kathy Keller, "The Meaning of Marriage". Kalau baca buku topik seperti ini, biasanya gue baca dulu bagian daftar isi. Gue lihat poin mengenai seks karena gue tahu beberapa buku Kristen kek malu-malu gitu ngmongin bagian ini, dan jadi bab yang paling sedikit pembahasannya. Tetapi di buku ini, pembahasan mengenai seks cukup banyak, lugas, dan gak mengawang-awang. Setelah baca bagian itu, gue baca bagian lainnya. Buku itu tidak seperti self-help, lebih seperti memikirkan ulang banyak pendapat umum mengenai hidup pernikahan, memberikan argumentasi dari Alkitab, tidak banyak subyektifitas di dalamnya. Saya suka bagian yang mengatakan bahwa pernikahan itu tidak pernah mudah karena menyatukan dua orang berdosa. Tetapi, dua orang berdosa ini harus mengarahkan pandangan pada satu fokus, ke arah Kristus, sehingga mereka melihat satu sama lain sebagai orang berdosa yang terus diproses. Sebuah jembatan bisa saja terlihat sangat bagus dan kokoh, sampai sebuah truk melewatinya. Retak-retak kecil berubah menjadi patahan. Bukan truk itu yang salah, tetapi beban truk itu memperlihatkan sesungguhnya ada retakan kecil yang perlu dibereskan. Demikian juga dengan pernikahan. Pernyataan ini bikin gue takut, juga bersemangat. Kalau Kristus hadir dalam satu keluarga, dan suami isteri tunduk pada-Nya, maka pernikahan yang memperlihatkan bobrok satu sama lain akan menjadi cara untuk membuat keduanya diberkati. Ini juga yang disebut sebagai kuasa pernikahan.   

Jadi, gue gak perlu ada di posisi ragu untuk menikah, atau sebaliknya, ngebet untuk menikah. Kalau lihat begitu banyak kasus perceraian, perselingkuhan, dan lain-lain, gue mikir, gimana sih dulu mereka ini bisa menikah. Emang kagak disaring dulu? Gue gak bisa menikmati drakor yang lagi laku The World of the Married dan VIP. Terlalu personal, juga terlalu menyakitkan jalan ceritanya buat gue, meskipun gue gak belum menikah. Penjelasan di buku tadi bikin gue melihat indahnya pernikahan, meski susah. Dan, gue mau. Kiranya Tuhan mendengarkan permohonan gue. Apa pun hasilnya nanti, menikah atau tidak menikah, Tuhan Yesus tetap baik.

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...