Sunday, August 9, 2020

Sedih yang Anggun

Sudah 3 bulan kami menjalankan pekerjaan kantor dalam kondisi normal baru. Hari ini, Bapak itu datang lagi. Sudah dua kali sebenarnya. Sebenarnya ruangan si Bapak bukan di sini, tetapi beliau mengatakan mendapat 'feel' bekerja di ruang perpustakaan, yang berarti ruang saya. Saya sih senang aja ada teman, biarpun saya tidak merasa kesepian juga bekerja sendirian. Maklum saya INFJ, introvert yang suka juga berteman, meskipun tidak suka keramaian. 

Pagi ini, bisa dibilang jarang dilakukan, Bapak itu menyapa, agak serius pertanyaan yang dilontarkan. "How are you?" yah saya bilang aja donk, "Fine", tapi kemudian dia lanjutkan pertanyaan/pernyataan, "You look tired. Why?" Saya langsung mikir, pasti karena belum berias wajah. Saya jawab, "Yah, mungkin karena perjalanan jauh dari Jakarta." Dia bilang, "Oh, karena weekend ya." Saya jawab, "Iya." Terus beliau gak beranjak juga. Saya pikir, musti lontarin pertanyaan balik nih.

"Bapak, gimana? Sudah sehat ya?" karena saya tahu beberapa bulan yang lalu ada berita mengenai beliau untuk kami doakan sehubungan dengan kesehatan. "Masih dalam pengecekan!" lalu saya sok-sokan bilang (maksudnya sih biar beliau gak terlalu sedih), "Tapi udah masa pemulihan kan?" Beliau jawab, "Belum, tunggu hasil aja!" Saya tahu penyakit yang dideritanya lumayan serius, buru-buru saya jawab, "Iya semoga baik ya hasilnya!" Beliau menimpali, "Yah, kita gak tau mudah-mudahan. Kalaupun tidak, Tuhan berkehendak." Dari intonasi suaranya, beliau cenderung pada prediksi terakhir. Hati saya langsung, jleb. Beliau pun pergi ke meja favoritnya, untuk bekerja, dan memang sudah ada rekan kerjanya menunggu di situ. 

Sedih yang anggun. Itu yang terlintas di pikiran saya. Beliau berusaha tetap bekerja dan bersemangat. Beliau memang orang yang bersemangat, dan memang sekilas, orang lain akan berpikir, beliau sombong karena banyak gelar dan minim bicara basa basi. Sebenarnya, beliau orang yang ramah, hanya cara bicaranya memang unik. Mungkin beliau menyadari ini, mungkin juga tidak, yang saya lihat sikap beliau wajar saja. Tapi pagi ini, saya melihat kesedihan di matanya, meski kata-katanya tegar. Saya ikut sedih membayangkan dirinya harus bekerja di tengah pikiran tentang kesehatannya yang berkecamuk di kepalanya. Saya tidak tahu bagaimana menghiburnya, karena memang harus ada jarak di antara kami. Tetapi saya bisa mendoakan beliau, agar Roh Kudus menghiburkan dan memberikan pengharapan penuh dalam menjalani hari-harinya.

Kiranya Tuhan Yesus Kristus menyembuhkan Bapak, sekiranya Ia berkehendak lain, kiranya Bapak memiliki pengharapan yang teguh di dalam Dia. 

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...