Thursday, August 10, 2023

Pernikahan

Pernikahan itu seperti perjalanan melalui laut menggunakan perahu, bisa terbuat dari apa saja. Tentunya, bahan pembuat perahu haruslah yang baik dan fasilitas di dalam perahu perlu yang terbaik agar perjalanan lancar. Perahu yang diisi dua manusia, laki-laki dan perempuan, pastinya punya tujuan bersama, ke suatu tempat yang indah bersama-sama. Di awal perjalanan, ketika pertama kali melepaskan diri menjauh dari pantai, semua pemandangan terlihat indah. Tidak banyak hal yang membuat gundah gulana. Mereka berdua saling tersenyum, membenamkan diri ke tubuh satu sama lain, saling memiliki. Harapan mereka tinggi akan hari esok, menua bersama dalam kegembiraan tak putus.

Pantai menjauh dari pandangan mata, menjadi hanya segaris batas horizon. Melihat ke bawah, air laut membiru kelam, tak seperti pemandangan di pinggir pantai. Ikan-ikan dan terumbu karang berwarna-warni digantikan dengan ketidakpastian mahkluk di bawah sana dan buih, terkadang ada saja sampah yang mengapung. Perahu itu menjadi terlalu kecil bagi mereka berdua. Mereka mulai berpikir untuk memperlebar perahu itu, mengembangkan layar, memasang penutup dan segala pekerjaan lainnya yang diperlukan untuk kenyamanan hidup bersama di tengah laut. Mereka selalu sibuk, selalu saja ada pekerjaan yang harus dilakukan, ada saja hal-hal yang salah yang perlu diperbaiki. Mereka jadi jarang berkomunikasi, terlalu banyak pekerjaan, terlalu lelah untuk mengucapkan kata itu. Aku cinta padamu. 

Tetiba gelap meliputi sekeliling. Gelap pekat yang belum pernah mereka alami sepanjang hidup di darat. Gelap itu saja sudah mengerikan, hening yang tak terperi, seolah ada mahkluk tak kasat mata menggerayangi. Inilah sesuatu yang sudah sering mereka dengar dari orang-orang lain yang sudah menikah, tetapi mereka terlalu naif untuk memercayai di awal. Terkejut, mereka hanya bisa terdiam dan setitik rasa penyesalan muncul di hati. Mengapa harus ke sini? Mengapa tidak pilih yang aman? Mengapa dengan dia? 

Ya, mengapa dengan dia? Kemungkinan-kemungkinan nama yang 'seharusnya' menjadi pendamping seumur hidup mulai berlompatan di benak. Mengapa juga harus seumur hidup? Terlalu berat, terlalu lama. Keduanya saling memandang tanpa kata. Hanya pikiran yang meronta, mendesak keluar melalui kata-kata. Sekali saja kata itu terlontar, maka tak terselamatkan lagi perahu itu, pernikahan itu. Hanya menunggu pemantik yang tepat untuk memuntahkan peluru itu. Salah satu, atau keduanya, pasti mati, berakhirlah pernikahan itu.

Serumit itu. Setidaknya begitulah saya memandang pernikahan dari mata seorang lajang. Bukan pesimistis yang saya tekankan di sini, tetapi pernyataan bahwa pernikahan itu tidak mudah, sebagaimana menjadi lajang juga tidak lebih membebaskan. Baik menikah, maupun melajang, kita semua orang berdosa. Dosa menyebabkan keruwetan dalam hubungan dengan pasangan maupun orang lain. Kita semua bersalah dalam banyak hal. Siapa yang bisa menyelamatkan pernikahan? Hanya Dia, sang Pemraksa Pernikahan. Dialah yang paling tahu menyelamatkannya, dan kita perlu datang pada-Nya dengan kerendahan hati. Pernikahan itu misteri hubungan Kristus dengan jemaat. Kristus mengasihi jemaat-Nya dan jemaat menghormati Kristus. Suami mengasihi isteri dan isteri menghormati suami. Banyak penyangkalan, tetapi juga akan banyak sukacita menyertainya. 


No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...