Sunday, November 5, 2023

Tugas Penggembalaan

Kepergian Kak Jo memberikan pelajaran kepada saya dan gereja mengenai tugas penggembalaan. Saya baru mengerti bahwa tugas penggembalaan bukan hanya tugas gembala sidang a.k.a pendeta, melainkan tugas bersama seluruh anggota jemaat meskipun di 1 Petrus 5:1-4 itu nasihat untuk penatua. Di gereja kami yang kecil, kami saling tahu kehidupan masing-masing. Menurut saya, memang seharusnya begitulah gereja, jemaatnya tahu kehidupan satu sama lain, bukan untuk bahan gosip, tetapi supaya bisa saling membantu. Keberhasilan dirayakan bersama, kegagalan diatasi bersama. Intinya, kami menikmati kesederhanaan persekutuan jemaat seperti ini. Hingga, satu hal Tuhan izinkan terjadi di dalam jemaat kami yang mengajarkan mengenai tugas penggembalaan. 

Ya, awalnya dari Kak Jo. Dia punya kecenderungan gula tinggi, namun abai mengecek kesehatan ke dokter maupun mengatur pola hidup, termasuk makanan. Sebagai sesama orang dewasa, kami mengingatkan, namun segan untuk bertindak lebih dari itu. Salah satu isteri pendeta kami memarahi, mengancam, membujuk agar dia peduli terhadap kesehatannya. Dia melakukannya karena kasih sayang, yang saya rasa tidak umum dilakukan. Jika tidak sayang, tidak mungkin dia putar balik arah dari perjalanannya yang jauh sekali ketika mendengar berita duka itu, menerabas hujan badai dengan mobil tuanya. Itu perbuatan yang berani sekali. 

Kami yang lain melihat dan mulai melangkah ke luar garis standar kenormalan itu. Dua anggota jemaat mulai memaksa Kak Jo untuk ke rumah sakit. Tuhan Yesus melancarkan segala urusan. Saya merasa itu tanda baik Kak Jo akan sembuh seperti sediakala. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, Kak Jo dipindahkan untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Tidak berapa lama setelah itu, kabar duka datang.  Kak Jo hanya punya kami sebagai saudara gerejanya, dan kami harus mengurusi semua.

Peti mati dibelikan, perias mayat dipesan, liturgi gereja dan kotbah disampaikan sesegera mungkin. Kami agak telat melakukan ibadah awal di rumah duka karena tidak siap. Saya tidak siap menjadi WL acara tersebut meskipun saya sudah bersiap-siap dengan pujian. Saya tidak siap menghadapi keluarga yang berduka bersama dengan hawa ketegangan yang memenuhi ruangan itu. Saya ciut karena tidak pintar berkata-kata, seperti Musa. Saya tidak meminta pimpinan Roh Kudus, malah menyerahkannya kepada isteri gembala, padahal dia sudah lelah sekali menyetir mobil dari perjalanan jauhnya. Saya bersyukur Ibu itu mengerti keciutan hati saya. Tetapi saya menyesal, seharusnya saya yang memimpin malam itu. 

Hari Minggu, mereka hadir, ayah dan anak. Salah satu teman meminta kami jemaat berdiri dan menyatakan bahwa kamilah keluarga mereka sekarang. Anak itu milik gereja, yah, perbuatan yang agak berani, karena kata-kata tidak boleh hanya sekadar kata-kata, harus ada perbuatan yang membuktikannya. Kami menanyakan rencana ayah dan anak ini. Belum tahu akan seperti apa, tetapi kali ini, tugas penggembalaan ini akan kami lakukan dengan pertolongan Tuhan Yesus. Kami berduka dan bertumbuh dalam kedewasaan berjemaat. God will make a way even in the wilderness!

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...