Monday, December 2, 2013

Surat untuk Para Senior

Selamat pagi, para senior yang tersayang...

Aku datang ke tempat ini dengan tujuan yang sama dengan kalian. Aku menempuh perjalanan dengan lalu lintas yang hari demi hari semakin semrawut saja, rasanya. Aku memperbaiki dandananku setiba di tempat ini untuk menciptakan kesan profesional. Aku sangat bersemangat mendapatkan kesempatan bekerja di tempat ini. Aku berharap dapat menerapkan ilmu yang sudah aku pelajari selama lebih dari dua tahun. Aku membawa idealisme-idealisme yang sudah aku percayai dapat membawa perubahan yang baik di tempat ini.
Aku mendapatkan tanggung jawab yang sama seperti kalian. Aku menghadap atasan yang sama untuk memperoleh evaluasi terhadap hasil kerjaku. Selain itu, aku juga mendapatkan gaji yang ditransfer tiap bulan ke rekening, sama seperti kalian, walaupun jumlahnya tidak sebesar yang ditransfer ke rekening kalian. Awalnya, memang gaji itulah yang aku harapkan untuk 'membuktikan' pada orangtua bahwa 'investasi' mereka padaku selama lebih dari 2 tahun kini sudah mendapatkan 'untung'. Yah, aku senang sudah menjadi manusia utuh, lepas dari tanggungan orangtua dalam keuangan. Sukur-sukur aku dapat memberikan sebagian dari hasil ini kepada mereka.

Saat kita mengadakan rapat bersama, aku menebarkan senyum terbaikku untuk para seniorku tersayang. Aku berharap aku bisa memberikan sumbangsih di tempat ini sama baiknya dengan kalian. Aku sangat menghormati kalian karena kalian telah dahulu berada di sini dan bertahan malah berprestasi dengan sangat baik. Aku ingin seperti kalian. Terimalah aku, para seniorku tersayang! Aku memandangi wajah-wajah kalian dan rasanya aku ingin memeluk kalian semua. Namun, tentu saja hal itu akan membuat aku terlihat konyol, bukan! Sudahlah, biar kusimpan saja perasaanku ini.

Rapat hari ini menjelaskan tentang visi dan misi tempat ini. Aku menganggukkan kepala, menyerap dengan penuh perhatian. Para manager menyerahkan pelatihanku kepada kalian, para seniorku tersayang dan kulihat, kalian tersenyum saat mendapatkan mandat itu. Aku bahagia sekali, ternyata bukan aku saja yang menyimpan rasa bahagia ini. Kalian juga, para seniorku tersayang. 

Saat rapat dibubarkan, kita kembali ke bilik kita masing-masing. Aku melihat kalian dengan lihai menyiapkan segala materi yang diperlukan hari ini. Batinku berbisik, sebentar lagi aku akan sepandai kalian. Aku berjalan ke meja senior pertama. Aku membantumu merapikan pekerjaanmu, tetapi engkau menolak. Lalu, aku membuka catatan berisi deretan yang ingin aku tanyakan padamu, tetapi engkau menjawab sepatah kata sehingga aku harus bertanya lebih lanjut agar aku mendapat pemahaman yang benar. Semakin banyak aku bertanya, semakin sedikit kata-katamu, semakin banyak kerutan di wajahmu. Akhirnya, aku sadar, aku harus meninggalkannya. Mungkin waktunya yang tidak tepat.

Aku beralih ke meja senior dua. Engkau tampak tidak terlalu sibuk karena engkau masih punya waktu untuk  membaca artikel dari internet. Saat aku menyapamu, engkau menjawab datar. Aku berusaha menghilangkan ketakutan ditolak lagi. Aku berusaha menyampaikan niatku datang ke tempat ini dan betapa aku ingin menjadi yang terbaik di sini. Engkau mendengarkan tanpa menatapku. Aku paksakan diriku bersemangat, terus bercerita. Tiba-tiba, telepon genggammu berbunyi dan engkau menjawabnya dengan membalikkan tubuhmu dari diriku. Aku menunggu di situ, ragu-ragu meninggalkannya karena mungkin engkau masih mau mendengarkan kelanjutan kisahku. Engkau mengangkat tanganmu, menyuruhku pergi. Aku berusaha tersenyum meskipun sesungguhnya kecewa. Aku tahu engkau tidak bermaksud kasar.

Aku pun kembali ke mejaku. Aku mengerjakan pekerjaanku sebisanya. Seharusnya, masa pengamatan selama 3 bulan cukup untuk memberikanku bekal bekerja di tempat ini. Beberapa ilmu tidak dapat kuterapkan sama sekali dan beberapa lagi harus dimodifikasi agar sesuai dengan tempat ini, begitu kata atasanku saat aku menjelaskan pendapatku mengerjakan ini dan itu di tempat ini. Aku seperti tercampak ke dunia yang tidak aku kenal dan aku harus mengejar 'ketinggalan' yang aku sendiri tidak tahu bagaimana memperbaikinya. 

Saat akhir kerja, aku didapati melakukan kesalahan. Kalian datang padaku, para seniorku tersayang. Kalian bilang seharusnya ini dan seharusnya itu. Kalau kalian tahu aku seharusnya begini dan seharusnya begitu, mengapa kalian tidak mengatakannya saat aku datang bertanya sebelum persoalan ini terjadi. Kalian juga menganggap aku tidak becus karena masih muda. Perlukah aku juga turut menyalahkan kemudaanku? Lalu, apakah artinya aku harus tua dulu agar becus? Bukankah kalian juga pernah muda?

Para seniorku tersayang, dengarkanlah rintihan hatiku. Aku ingin bertahan, aku ingin cemerlang, seperti kalian. Salahkah niatku itu? 

Ngomong-ngomong, terima kasih sudah membaca suratku.

2 comments:

  1. Aduuhh pengen menjeweri senior senior ituhhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya penyakit para senior yang jarang sekali sembuh :) Apakah dirimu punya tips penyembuhan (mungkin) di blog? Bagi donk :D

      Delete

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...