Tuesday, December 17, 2013

Solusi Kopi

Saya bukan orang yang keranjingan sesuatu selama bertahun-tahun, seperti menonton sepak bola, film Korea, mendengar musik K-pop atau hal lainnya. Makanya, saya jadi bingung saat seorang teman mention salah satu tweet saya yang menyebut saya seorang coffee addict. Okelah, saya memang suka sekali menghadirkan minuman hangat ini yang langsung tekan dari mesin kopi kantor. Tetapi kan tidak berarti saya ini kecanduan, karena kalau mesin kopi itu rusak, saya tidak buat kopi (biasanya). Atau, jika tidak sedang musim bekerja, saya tidak minum kopi di rumah (sebagian besar, seperti itu).

Pernah beberapa kali, saya memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi kopi sama sekali. Berhasil selama beberapa bulan. Saya merasa berat badan juga berkurang. Baik sekali ternyata untuk diet. Tetapi, tanpa saya sadari, saya mulai mengkonsumsi kopi lagi. Entah kapan saya berhenti menghentikan kebiasaan tersebut dan alasan apa yang membuat saya kembali dalam "pelukan' kopi. Saya memaafkan 'kesalahan' saya ini dengan memercayai artikel yang bilang kopi itu baik dikonsumsi. Tetapi jauh di lubuk hati saya menyadari bagi tubuh saya, kopi instan tidak baik. 

Saya berusaha mencari penyebab, akhirnya saya mengakui, saya keranjingan kopi (masih stadium 3, untungnya). Saya menelusuri awal mula lidah saya berkenalan dengan kopi. Saat itu, saya berkenalan dengan seorang Belanda yang akhirnya jadi pacar saya. Tiap kami pulang gereja, ia selalu minta untuk berbincang-bincang dulu di kedai kopi. Kopi Begawan. Waktu itu, dia salah sebut nama kopinya, Bawengan. Yah, masa saya hanya duduk saja, mau tidak mau, saya juga minum. Saya tidak ingat rasa kopi itu enak atau tidak, cuma ingat tatapan dia dan pembicaraan kami :p Well, udah berlalu. Mungkin karena saya 'terpaksa' ikut minum kopi selama hari-hari kami bertemu, tubuh saya jadi menikmati efek kafein.

Saat saya mengalami kejenuhan di pekerjaan, saya minum kopi, segera saja ide-ide kreatif bermunculan; kafein memompa semangat ke kepala saya. Biasanya, gerakan saya juga jadi cepat sehingga banyak kali target tercapai (seperti dalam permainan diner dash atau Sally's salon atau Travel Agency). Efek lain yang kurang menguntungkan, saya jadi kelelahan setelahnya, sering tertidur di bus. Kulit saya juga jadi kering dan perut buncit karena timbunan gula dari kopi itu. Namun, selalu saja gagal kalau saya bermaksud berhenti ngopi.

Lalu, saya menelaah dari segi psikologis. Saya sadari ngopi memberikan semacam hiburan bagi saya saat rutinitas pekerjaan kantor terasa membosankan. Secangkir kopi instan yang didapat dengan mudah, tanpa bersusah-susah, membuat saya menikmati fasilitas "mewah" ini dan merasa bersyukur atas layanan yang tidak dimiliki semua kantor. Agak berlebihan kedengarannya, tetapi itulah yang saya rasakan. Masalahnya, porsi ngopi saya bertambah seiring dengan bertambahnya juga permasalahan batin yang saya rasakan. Dari secangkir sehari menjadi dua cangkir, bahkan tiga cangkir, hanya dalam waktu 9 jam kerja. Oh, tidak!!!

Begitulah saya memandang aktifitas ngopi ini. Menjelang tahun baru 2014, saya merasa perlu mencari solusi lain untuk permasalahan batin saya. Solusi kopi terbukti bersifat adiktif dan merusak penampilan saya. Saya perlu menjadi kreatif, bersemangat, bersyukur tanpa bantuan secangkir kopi. Semua itu harus datang secara alami sebagai buah dari hubungan yang baik dengan Pencipta saya. Dan ide-ide kreatif juga saya minta saja dari Pencipta saya yang kreatif luar biasa, tiada bandingnya. Jadi, bye-bye solusi kopi :)

Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, – yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan tidak membangkit-bangkit – , maka hal itu akan diberikan kepadanya. (Yakobus 1:5)




No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...