Monday, October 19, 2015

Kesempatan

Seperti biasa, saya 'kabur' dulu ke koridor depan karena ruangan kerja saya akan dibersihkan. Debu yang melayang-layang di udara membuat tenggorokan dan pernafasan saya terganggu. Sambil duduk dan membaca koran, saya menunggu. Saat koran saya yang saya pegang sudah selesai saya baca, saya hendak masuk ke ruangan untuk mengambil yang baru. Dari kejauhan, saya melihat, Ibu Warni, salah satu pekerja bersih-bersih, membuka-buka buku, yang saya tahu pasti, itu buku resep masakan.

Saya hentikan langkah. Saya berbalik ke kursi panjang yang saya duduki tadi. Saya tidak ingin 'mengganggu' Ibu yang sedang membaca. Hati saya miris. Di sela-sela pekerjaannya, si Ibu masih mencuri waktu membaca. Sebetulnya bukan kali pertama ini, saya mendapati si Ibu membuka-buka buku dan majalah. Hanya saja, kali ini, saya memandang sambil berpikir.

Kesempatan.


Si Ibu tidak punya banyak uang untuk disisihkan membeli buku. Ia tidak punya kesempatan, sehingga ia menghargai waktu bersama buku kesukaannya. Beberapa murid, mungkin saya termasuk di dalamnya, memiliki kesempatan begitu besar untuk membaca buku apa saja yang saya inginkan di perpustakaan ini, tetapi seringkali tidak mengambil manfaat dari kesempatan ini.

Kesempatan.

Lebih jauh lagi, saya berpikir tentang orang-orang yang sudah tiada. Mereka yang terkubur di tanah sudah tidak punya kesempatan hidup. Tinggal tunggu nasib di dalam kekekalan. Lalu, mereka yang menderita penyakit kronis sehingga harus menjalani hidup bergantung pada alat-alat kedokteran. Satu hari berlalu saja sudah merupakan suatu mujizat.

Kesempatan.

Ketika kami menanyakan beberapa orang tentang siap atau tidak menghadapi Hari Kiamat (baca: Hari Penghakiman), mereka menjawab seram, tidak tahu, tidak mau memikirkannya sekarang. Orang yang paling ateis sekalipun harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan mati. Bumi tua yang kita tempati akan mati. Jadi, mengapa tidak memikirkan apa yang akan terjadi dengan roh manusia setelah Hari Besar itu?

Kesempatan.

Sekaranglah, inilah kesempatan itu. Kesempatan untuk diselamatkan dari Hari Besar itu. Harus ada Penolong karena sudah dipastikan semua manusia akan mati. Seorang Penolong yang mengalahkan kematian. Dialah Penolong sejati itu. Dialah kesempatan kita 

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...