Wednesday, September 30, 2015

Saudara Perempuan

Ria melirik tumpukan buku harian di sudut meja belajarnya. Ada sesuatu yang perlu dia lihat di situ. Sebuah catatan tentang Ray, kakak perempuannya. Mereka hanya terpaut 1 tahun, namun semakin beranjak dewasa, keduanya sangat berbeda. Ria lebih tertutup dan misterius, sementara Ray, senang berbicara dan hangat. Ria lebih pintar di sekolah, sementara Ray, lebih tekun belajar. Keduanya sama-sama cantik. Meski demikian, Ria terlihat lebih menonjol. Itu kata orang-orang. Ria tidak merasa seperti itu. Ray, di mata Ria, kakak perempuan yang mengagumkan.

Tidak satupun catatan tentang saudara perempuannya di sana. Setelah lebih dari 37 tahun hidup bersama, tidak satupun catatan hidup tentang Ray di situ. Merasa bersalah, Ria berulang kali membolak-balik buku-buku hariannya. Tidak ada. Diambilnya buku hariannya yang terbaru, Ria mulai menulis.



Saudariku yang cantik, Ray
Aku menyesal karena tidak pernah sungguh-sungguh mengenalmu. Apa yang terjadi dengan kita? Mengapa sulit sekali berbicara dari hati ke hati di antara kita?
Aku tahu tentang dirimu dari Mama dan Ana, sahabatmu. Mengapa bukan aku?
Pernah kulihat di facebook, sepasang kakak beradik, seperti kita juga, saling memberi komentar memuji satu sama lain. Aku lihat lagi foto-foto kegiatan mereka. Aku iri. Mengapa bukan kita?
Kamu ingat tidak, Kak, beberapa kali aku mengajakmu makan di luar, aku yang traktir. Kamu menolak dengan alasan yang dibuat-buat. Apa salahku, Kak? 
Kata mereka, kamu merasa kalah denganku. Sejak kapan ada kompetisi itu? Kata sahabatmu, seorang pria sudah menipumu. Pria itu bodoh sekali. Jangan pikirkan dia lagi, ya!
Kak, aku sakit hati mendengarnya. Mungkin kalau aku tahu pria itu dan aku seorang pria, aku akan datangi pria bodoh itu dan meninju wajahnya. Tetapi, aku perempuan. Aku juga tidak pernah lihat wujud pria itu. Ingin aku membelamu, tetapi bagaimana?
Kak, aku mengharapkan yang terbaik untukmu. 
dari Ria

Ria menyeka airmatanya. Aku mengharapkan yang terbaik untukmu. Kata-kata itu bergema di relung hatinya. Apa yang terbaik buat Ray? Kata orang, apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk orang lain. Apalagi yang terbaik. Apakah terbaik itu hanyalah kata klise? 

Ria melipat tangan, menutup matanya. Seluruh isi hatinya ditumpahkan saat itu. Tidak lagi menata kalimat per kalimat dengan rapi. Di sela-sela isakan tangis, sebisanya Ria berkata-kata. Ria tahu, Bapa di surga mengerti. Ia seperti melihat Yesus Kristus berdiri di atas perahu dan berkata kepada badai di dalam hati Ria, "Diam. Tenanglah!"

Ria berhenti sejenak. Bapa, Yesus Kristus, Roh Kudus, selalu menjadi yang terbaik dalam hidup Ria. Ia tersenyum. Ya, itulah jawabannya. Tuhanlah yang terbaik yang bisa dimilikinya dan Ray, saudara perempuannya. Ria mengucapkan doa, "Tuhan, biarlah Dirimu dikenal oleh Ray. Aku inginkan yang terbaik baginya, yaitu Dirimu. Amin."


No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...