Wednesday, December 14, 2016

Guru

Setelah membaca buku "Kenapa Saya Memilih Kristus?" karangan Bapak Saifuddin Ibrahim, pada bab 13 yang diberi judul bab "Berguru", saya tergerak menuliskan postingan tentang guru. Saya ingin mengutip perkataan dari Kiyai Ali Darokah yang menasihati penulis tersebut yang berkata, "Kalau kamu menuntut ilmu harus mencintai guru, mencintai keluarganya, jangan menyakiti hatinya, jangan membuat dia marah, karena guru itu hampir-hampir saja seperti nabi."

Hati saya tersentuh membaca pendapat ini. Mungkin ada yang segera menyanggah dengan berkata, "Guru kan manusia, pasti ada salah. Lagipula, banyak guru yang brengsek zaman sekarang." Terlepas dari guru yang "brengsek" tadi, postingan ini saya buat sebagai bahan refleksi terhadap penilaian banyak orang terhadap guru.


Saya berteman dengan banyak guru, saya mengamati kesusahan, penderitaan mereka. Saya juga menjadi murid dari satu kursus bahasa mandarin. Jadi, saya ini "guru" dan sekaligus murid. Para guru, pada dasarnya, sangat ingin menurunkan ilmu mereka kepada para murid. Tidak ada, di antara teman sesama guru saya, yang marah ketika muridnya tekun belajar. Bagi para guru ini, suatu kebahagiaan jika melihat, hanya melihat, para murid mencapai cita-cita mereka di dalam hidup. Padahal belum tentu loh, para murid ini traktir makan gurunya, setidaknya. Mulia sekali pekerjaan ini, saya tidak sanggup mengembannya.

Guru itu sosok pemimpin: mengajar dan mendisiplin. Terkadang mereka melunak, terkadang marah. Proses belajar mengajar ini menyebabkan ketegangan dalam hubungan guru-murid. Pastinya, seorang guru punya tujuan ketika harus mendisiplinkan seorang murid. Seringkali, murid tersebut marah karena tidak suka didisiplin. Guru menjadi sosok yang mudah dibenci oleh muridnya. Tetapi, guru yang baik sudah tahu resiko ini dan mau menanggungnya. Mungkin juga guru ini harus dihadapkan pada orangtua yang tidak terima anaknya diperlakukan "tidak adil". Tidak hanya itu, guru di sekolah juga menghadapi tuntutan atasan mereka dengan segala macam alasan. Guru itu harus berdiri tegak di antara banyak tekanan.

Saya suka memperhatikan Laoshi Phun ketika mengajar kami. Wajahnya serius, tubuhnya kurus, terlihat kurang menyenangkan menjadi guru. Namun, ketika Laoshi mengajar kami, saya merasakan hasratnya melihat kami berhasil menguasai bahasa Mandarin. Setiap pertemuan, Laoshi tidak pernah lupa mengingatkan kami agar mengulangi pelajaran yang lalu. Ia juga menguji kalau-kalau kami tidak melakukan peringatannya. Beliau begitu serius menelaah kesulitan masing-masing murid dalam belajar dan memikirkan jalan keluarnya.

Ada kata-kata beliau yang saya ingat, "Ikuti cara saya karena sudah terbukti berhasil!" Tiap kali pertemuan, kami harus mengulangi tulisan, cara baca dari pelajaran selanjutnya. Jika ketika diuji, kami gagal, Laoshi tidak akan maju ke bab berikutnya. Hal ini terjadi sampai beberapa bulan. Beberapa murid tidak betah dan mengundurkan diri atau terlibat perdebatan dengan Laoshi sehubungan caranya mengajar. Saya dan seorang teman ikut saja cara Laoshi karena kami memang tidak ada pilihan lain. Teman yang mengundurkan diri kebanyakan 'terlalu pintar' untuk mengikuti cara Laoshi.

Sekarang baru kami merasakan sekali buah dari ketundukan, kepercayaan terhadap Laoshi. Kami sudah bisa mengerti arti kalimat, lebih mudah memahami pelajaran baru, mengingat penulisan karakter baru. Di awal belajar, saya ini murid paling sering dikritik Laoshi. Sedih? Iya, tentu saja, bahkan saya merasa putus asa. Kepercayaan terhadap Laoshi yang membuat saya bertahan dan tekun belajar.

Ketika membaca perkataan Kiyai Ali Darokah dan ketaatan Saifuddin Ibrahim sebagai seorang murid, saya segera menyetujuinya. Ini tidak ada hubungannya dengan mengkultuskan manusia. Ini semata mengenai kepercayaan, penghormatan terhadap guru yang semakin hari semakin hilang. Murid merasa lebih pintar atau lebih kaya sehingga tidak perlu menghormati guru.

Yesus Kristus mengiyakan bahwa diri-Nya itu Guru dan Tuhan dalam Yohanes 13:13. Selanjutnya dikatakan Ia memberikan teladan supaya murid-Nya melakukan hal yang sama. Kalau tidak ada kepercayaan, tidak mencintai guru, bagaimana mungkin meneladani? 

Selamat hari guru!

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...