Sunday, July 22, 2018

Setengah Benar

Teman saya meminjamkan film yang sedang dibawanya ke ruang makan kantor. Saya tertarik menonton film itu karena film nasional (saya ini nasionalis loh! :p) dan lucu. Awalannya saja sudah lucu, apalagi selanjutnya, saya pikir demikian. Ini kisah tentang seorang ayah beretnis Tionghoa yang menginginkan anak bungsunya melanjutkan toko keluarga karena anak sulungnya tidak bisa dipercaya. Masalahnya, anak bungsu sudah memiliki karir yang mapan di kantor dan akan segera dipromosikan sebagai Direktur Asia. Sementara itu, anak sulung kurang sukses, atau boleh dibilang, terus saja merintis usaha fotografi secara serabutan, karena belum memiliki studio foto. Ditambah lagi, anak sulung menikah dengan perempuan yang tidak mendapat restu dari ayahnya.

Secara keseluruhan, jalan ceritanya bagus, meskipun lelucon yang dilontarkan menjurus ke pornografi. Yang bikin saya tidak bisa menarik bibir tersenyum adalah ketika adegan anak sulung bersama teman-temannya akan mulai berjudi, mereka protes dengan pemilik rumah karena memajang foto gambar tangan berdoa dengan tulisan "upah dosa ialah maut". Pemilik rumah mengajak teman-temannya untuk berdoa memohon ampun untuk kegiatan yang akan mereka lakukan :( Adegan kedua yang bikin saya mengerutkan dahi adalah pada saat keduanya menjebak bos properti di kamar hotel. Sang kakak menertawakan adiknya yang selama berpacaran, tidak melakukan apa-apa. Duh, bahaya ini kalau ditonton kaum single.

Keberatan saya, kenapa harus membuat lelucon untuk sesuatu yang sakral? Tahukah kepada siapa doa itu dipanjatkan? Apakah mereka mengira Tuhan ikutan tersenyum geli dengan kekonyolan mereka? Bukankah Tuhan itu Pribadi yang harus ditakuti, dihormati, lebih daripada menghormati orang tua? Mengapa jika meledek orang tua, kita bisa marah? Tetapi ketika Tuhan dipermainkan, kita merasa biasa saja? Apa karena Tuhan mahabaik? Btw, Tuhan punya perasaan loh. Galatian 6:7 "Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya."

Film itu mengajarkan mengasihi orang tua, menghormati wanita (tidak melakukan pelecehan) tetapi sayangnya, hanya sampai di situ moral baik yang diajarkan. Setengah benar. Apakah melakukan perzinahan ketika berpacaran, tidak dianggap pelecehan terhadap martabat wanita? Taruhlah memang keduanya sama-sama mau, tetapi bagaimana dengan komitmen kesucian pernikahan? Keperjakaan bukanlah aib, itu suatu hadiah kesucian di dalam pernikahan. Saya salut dengan anak bungsu yang menjaga dirinya dan kekasihnya, sehingga di film tersebut, tidak seharusnya dia malu dengan keperjakaannya. Anak muda harus bangga dengan keperjakaan atau keperawanan mereka. Terlebih lagi, ini adalah bentuk penghormatan kepada Tuhan yang memberikan seks di dalam pernikahan yang kudus. Sayang sekali, film yang menarik ini tidak dipakai untuk mengajarkan hal baik. 

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...