Sunday, October 19, 2014

Menjadi Tua dan Jelek dengan Ucapan Syukur

Percakapan singkat dengan Mama sebelum saya berangkat ke gereja, kemarin pagi.
Mama : 
De, Mama jelek banget ya masa lehernya udah kelihatannya turun. Ini juga udah ada kerutan di bibir Mama. 
Saya :
Dimana, Ma? Gak keliatan kok. Biasa aja.
Mama : 
Masa gak keliatan? Jelas begini. Wajah Mama udah mulai banyak kerutan nih.
Saya : 
Yah namanya juga sudah tua. Semua orang juga akan begitu. Yang penting kan manusia di dalam sana, bukan yang di luar.
Mama : 
Tapi Bu Sophie lebih tua dari Mama tuh bisa mukanya masih mulus.
Saya : 
(tidak mau kalah) Bu Sophie punya anak gak? 
Mama : 
Gak, tapi bukan karena itu juga mukanya mulus. Dia perawatan, De. Mama kurang rajin sih rawat muka pake olive oil. Beli dimana sih?
Saya : 
Ada di mana-mana, Ma...(sedikit yakin bisa menenangkan Mama yang panik dengan penuaan)...Ma, yang penting sehat, cantik itu keluar dari dalam, dari ucapan syukur.

Saya tidak mau lagi berurusan dengan persoalan fisik yang gak ada habis-habisnya. Seberapa baik pun kita merawat diri, dengan kosmetik dan obat-obatan mahal, gak akan bisa menunda takdir alam. Semua barang mengalami penuaan, pengrusakan. 

Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin
Roma 8:22

Saya juga prihatin dengan orang-orang yang terus menerus bersedih dengan bentuk fisik mereka. Kurang tinggi, kurang langsing, kurang mancung, kurang ini, kurang itu....Saya ingin meneriaki orang-orang ini untuk berhenti dengan urusan fisik. Kalau kurang cantik, memang tidak ada yang mencintai kamu? Kalau kurang mancung, memang kamu jadi gak bisa bernapas? Kalau kurang tinggi, so what gitu loch?

Kita semua tahu rasanya jika sebuah karya yang kita buat dengan sepenuh hati dinilai jelek oleh orang lain. Saya membayangkan perasaan Tuhan (btw, Tuhan itu pribadi ya, yang punya perasaan, bukan robot) yang melihat anak-anak manusia tiap hari sedih, kesal, karena tidak bisa menerima bentuk fisik mereka. Masih sukur, Dia tidak mengirimkan petir untuk mengobrak-abrik karena kesal. 

Kamu gak pernah kena di-bully sih soal fisik karena kamu kan pintar, cantik...(begitu salah satu teman pernah berkomentar tentang diri saya)

Ck..ck..ck, kamu kan baru tahu tentang saya hanya segelintir. Kamu tidak tahu saya juga pernah ditolak sebagai pengajar di salah satu kursus bahasa Inggris karena saya...PENDEK. Mereka kuatir, para orangtua akan mengeluhkan pengajar yang PENDEK. Saya tidak bisa terima karena alasan itu tidak ada kaitannya sama sekali. 

Saya juga pernah mendengarkan kata-kata ledekan teman, komentar salah satu anggota keluarga dan saya minder luar biasa. Saya menciptakan dunia khayalan, tempat saya menjadi orang yang bukan diri saya. Di dunia nyata, saya menjadi orang yang kehilangan kontak dengan orang lain.  Kebencian saya terhadap diri sendiri membuat saya memisahkan diri dari dunia nyata. Saya tidak bisa menghadapi diri saya yang PENDEK, tidak menarik. 

Keminderan saya ini membuat saya mengasihani diri dan pernah merasa ingin mati saja. Usia remaja, SMP, saya sudah punya keinginan untuk mati. Kreatifitas saya matikan. Saya jadi orang yang selalu suram. 

Syukur kepada Tuhan, saya merasa bosan juga dengan keadaan saya ini. Bosan menjadi minder. Bosan hidup dalam kesuraman. Tuhan pun mulai membuka berbagai-bagai kesempatan. Mungkin saya juga yang terbuka mata, melihat kesempatan-kesempatan itu. 

So, stop blaming yourself for not being 'perfect'. 




No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...