Monday, July 24, 2017

Hidup Mulai di Usia 40

Gue bersyukur untuk usia 40 tahun yang dianugerahkan Tuhan untuk gue. Gue masih dalam keadaan waras, sehat dan penuh pujian kepada Tuhan. Meskipun gue perhatikan, akhir-akhir ini gue gampang emosian. Alasan gue emosian juga pasti bisa diterima ama orang banyak kalau gue ceritakan. Gue pengen cerita tentang satu persoalan aja ya, pertemanan.

Dari dulu, gue gak pernah punya banyak teman. Kenalan banyak, teman sedikit. Jadi gue bersyukur dan menghargai pertemanan. Gue sering menganggap teman gue itu saudara gue. Emang gak semua hal gue ceritakan ke teman gue. Itu juga ada alasan kuatnya, terutama untuk menjaga perasaan teman gue. Masalahnya, belakangan gue merasa bertepuk sebelah tangan. Gue menganggap dia saudara, dia gak anggap gue saudara. Belakangan gue sering berpikir, kok bisa ya? Ujung-unjungnya, gue berkesimpulan, tidak ada yang abadi di dunia ini, bahkan pertemanan.

Kemarin itu, gue menyimpan kemarahan. Di kepala gue ada adegan memaki orang itu dan berjanji untuk tidak lagi berurusan dengan orang itu. Tuhan tahu gue sangat marah. Gue benci dengan orang dewasa yang kekanak-kanakan dalam pemikiran dan perbuatan. Dia memperlakukan gue seolah-olah tidak pernah ada hubungan di antara kami, tanpa penjelasan. Orang dewasa itu teman gue. Saudara gue. Gue marah, sekaligus sedih.

Gue baru baca di Alkitab, ajaran Yesus tentang pengampunan. Intinya, kalau saudaramu bersalah 7 kali dan kembali lagi meminta maaf kepadamu 7 kali, kamu harus mengampuninya. Sebelumnya, gue menganggap nats Alkitab ini gampang gue lakukan karena gue tahu pada dasarnya, gue ini bukan pendendam. Belakangan, gue meragukan diri gue.

Gue kuatir jika gue 'terlalu mudah' mengampuni, justru gue jadi orang munafik. Di depan senyum tapi di belakang ngomongin orang itu. Gue berargumentasi kalau gue maafin aja teman gue ini, dia gak akan pernah berubah. Mungkin tidak akan meninggalkan sikap kekanakannya, kesalahannya.

Gue pikir-pikir lagi, Tuhan Yesus pasti punya alasan yang cukup bagus untuk 'memaksakan' murid-Nya mengampuni berkali-kali. Salah satunya, yah, gue merasa 100% sempurna. Dalam doa Bapa Kami, ada kata-kata, "ampunilah kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Jika tidak mengampuni sesama, maka Bapa di surga juga tidak akan memberikan pengampunan." Gue juga bersalah, terlebih kepada Bapa di surga. Gue sendiri butuh pengampunan.

Kalau gue mengkhawatirkan semua pembenaran gue di atas, berarti gue menjadi hakim buat teman gue itu. Hakim memiliki tugas menjatuhkan hukuman, padahal pembalasan itu hak Tuhan. Itu juga berarti gue tidak percaya kasih sayang Tuhan terhadap teman gue itu. Gue tidak memiliki hati-Nya. Gue tidak percaya Tuhan mampu mengubah dia. Gue sedang melakukan dosa besar.

Gue masih bergumul untuk sepenuhnya mengampuni dia. But, I will obey Him. It's time to start my life again with forgiveness.


No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...