Tuesday, March 5, 2013

Rivkah dan 3 Bola Asap bagian 1

Rivkah buru-buru masuk melalui pintu itu. Gedung kuno namun tidak sepi pengunjung itu sudah menjadi rumah kedua baginya selama 3 tahun belakangan ini. Biasanya hanya kaum Adam saja yang diperbolehkan masuk ke dalam gedung itu, tetapi pengecualian buat Rivkah. Tiga tahun yang lalu, ayah Rivkah, seorang imam besar di sinagoge itu meninggal dunia dan hanya meninggalkan seorang puteri sebagai keturunannya. Kala itu Rivkah masih berusia 18 tahun. Sebagai satu-satunya keturunan ayahnya, Rivkah bersedia meninggalkan masa remajanya untuk mengabdi di rumah Tuhan, menggantikan posisi ayahnya.

Segera saja, Rivkah mengganti pakaian yang dibawa dari rumah dengan pakaian upacara, serta aksesoris pelengkapnya. Diaturnya cawan berisi anggur terbaik, lilin 7 cabang, kain ungu untuk menutup mezbah sajian, roti, ukupan yang berisi kemenyan. Rivkah mengatur posisi menghadap ruang mahakudus, tempat Tuhan berdiam. Kemudian, ia merobek roti persembahan itu dan mengaturnya di atas sebuah pinggan. Selanjutnya, ia mengangkat cawan anggur dan  memanjatkan doa-doa khusus dengan lembut. Diambilnya ukupan itu dan diayun-ayunkannya agar asap kemenyan memenuhi ruangan itu. Barulah ia berhenti dan duduk di barisan depan bangku umat. 

Sewaktu matanya menjelajah ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara berwibawa memanggil namanya dari balik tirai pemisah ke ruang mahakudus. Kedua lututnya gemetar, ia tahu tak seorang pun ada di sana. Sang Imam Besar yang mendapatkan hak istimewa sebagai satu-satunya orang yang bisa masuk ke ruang mahakudus itu hanya bisa masuk setahun sekali, itu pun sudah dilakukan. Dan hanya satu kemungkinan pemilik suara itu. Dialah Yang Mahatinggi. Begitu Rivkah dan semua umat menyebutnya. 

Suara itu memanggil lagi.

"Rivkah!"

Ragu-ragu, ia menyahut.

"Ya, Yang Mahatinggi. Aku di sini."

"Rivkah! Mendekatlah, Aku ingin berbicara."

Rivkah berusaha keras bangkit dari tempat duduknya, dan melangkahkah kaki-kaki lemahnya hingga tepat di  depan tirai. 

"Masuklah, Rivkah! Jangan takut!"

Pelan-pelan, Rivkah menyibak tirai itu dan memasukkan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Suasana di dalam sangat damai, hanya satu lampu yang meneranginya. Rivkah tidak melihat siapapun di situ. Untuk pertama kalinya, ia berada di sana, matanya terus menerus menjelajah tempat itu. Ada sebuah kotak kaca dengan tiga bola asap di dalamnya di atas meja yang ditempatkan di tengah-tengah ruang itu.

"Rivkah, Aku ingin kau membuka kotak kaca itu."

Rivkah mengikuti instruksi dari suara yang tidak kelihatan wujud itu.

"Ambillah 3 bola asap itu. Aku ingin kau bawa ketiganya kemana pun kau pergi. Jangan lengah karena mereka mudah sekali pupus, pergi mengikuti angin. Kau hanya perlu memberikan kasih sayang yang murni untuk mereka. Kasihmu akan membuat mereka tetap kuat dan semakin besar. Ingat, kasih yang murni. Panggillah Aku dimana pun engkau memerlukannya. Pergilah, Rivkah."

Rivkah buru-buru mengambil 3 bola asap dan keluar dari ruang kecil itu. Sesungguhnya, dia tidak mengerti sama sekali tetapi ia terlalu takut untuk bertanya. Ia memasukkan ketiganya ke dalam tasnya. Setelah selesai memimpin upacara hari itu, Rivkah segera pulang ke rumahnya. Hari itu sungguh melelahkan bagi Rivkah.

Sesudah sampai di rumah, Rivkah ingin segera membaringkan tubuh di tempat tidur, sehingga tas itu digeletakkan saja sembarang. Ia lupa ada 3 bola asap di dalamnya. Selagi hanyut dalam tidur lelap, ketiga bola asap itu mulai bergerak-gerak, saling membenturkan diri satu sama lain, dan akhirnya berhasil keluar dari celah tas Rivkah yang tidak terkunci.

Rivkah bangun kesiangan keesokan harinya. Dengan langkah malas, ia menyeret tubuhnya menuju kamar mandi, berlama-lama membasuh dirinya di dalam sana. Saat melangkah keluar dari pintu kamar mandi, matanya tertuju pada tas yang tergeletak terbuka. 

"YAIK!" jeritnya. Rupanya suara jeritan itu begitu kuat hingga mengagetkan ibunya yang sedang memasak.
"Rivkah, Rivkah, ada apa?" teriak ibu sambil berlari menuju kamar Rivkah di lantai dua.

Tangan Rivkah sibuk merogoh dan mengeluarkan benda-benda yang ada di dalam tas. Ia tidak akan memaafkan dirinya jika ternyata ketiga bola asap yang diberikan Yang Mahatinggi ternyata raib. Ia tahu harus menemukan mereka kembali. Hanya saja dia tidak tahu kemana dan bagaimana. Ia juga tidak punya keterampilan membujuk ketiganya kembali kepadanya sekalipun ia sudah berhasil menemukan.

Yang Mahatinggi telah memperingatkan Rivkah sebelumnya untuk tidak akan pernah menggunakan pemaksaan dalam melakukan penjagaan itu. Mereka harus kembali dengan kemauan mereka sendiri. Yang Mahatinggi sebenarnya telah berpesan agar tidak meninggalkan ketiganya tanpa pengawasan tetapi semalam Rivkah benar-benar lelah sehingga melupakan mereka.

"Bu, apa Ibu lihat 3 bola asap keluar dari kamar ini?"

"Bola asap?" kening ibu berkerut. "Jadi kamu teriak seperti orang kena celaka tadi cuma karena bola asap? Berhenti bikin Ibu panik cuma karena hal tidak masuk akal, Rivkah!" kata ibunya sambil berjalan meninggalkan Rivkah.

Rivkah duduk di pinggir ranjangnya. Ia berpikir keras sambil menggigiti kuku tangannya, kebiasaan jelek kalau ia sedang gugup.

"Tidak banyak waktu lagi, ayo berpikir, Rivkah, dimana kira-kira mereka sekarang?" batinnya berkata.

"Pasar. Ya, tentu saja di pasar. Ah, kenapa tidak dari tadi aku berpikir ke situ? Mereka tentu merasa lebih bebas jika bisa berada dengan orang banyak karena akan tercipta angin-angin kecil saat berjalan, bergesek.

BERSAMBUNG...






No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...