Tuesday, March 12, 2013

Rivkah dan 3 Bola Asap bagian 2

Sesampai di pasar, Rivkah bergerak di antara orang-orang yang melakukan transaksi jual beli. Hari itu pasar dikerumuni lebih banyak orang dan dagangan karena sebentar lagi Perayaan Besar tiba. Gesekan, emosi, kompetisi di antara orang-orang ini menciptakan asap-asap pekat di sekitar sehingga menyulitkan Rivkah untuk menemukan 3 bola asapnya. Semua terlihat buram, berasap, jalan hampir-hampir tidak kelihatan. Ini karena Rivkah meminta kemampuan melihat roh dan diberikan oleh Yang Mahatinggi dengan tujuan pencarian itu. Rivkah memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas di antara asap pekat.



Setelah berkeliling pasar entah sudah berapa kali, Rivkah menyerah. Satu-satunya jalan keluar, Rivkah harus menunggu pasar tersebut sedikit lebih sepi. Dan itu artinya Rivkah harus menunggu hingga sore hari. Rivkah bingung, ia harus bangun pagi sekali besok karena harus menyalakan api di sinagoge untuk menyambut Perayaan Besar. Mungkin ia harus memaksa diri untuk tidak tidur hari ini. Rivkah membeli makanan untuk mengganjal perutnya yang berbunyi sedari tadi dan mencari pojokan untuk beristirahat sejenak. Tak lama, Rivkah tertidur.

Ketiga bola asap itu berada tepat di depannya, bergerak ke sana kemari, tak beraturan. Baru kali ini, Rivkah benar-benar mengamati ketiga bola asap itu. Biarpun sekilas tampak serupa, ternyata masing-masing memiliki warna cahaya yang berbeda-beda. Kadang asap itu mengembang, kadang mengempis, mirip jantung manusia. Sangat indah, Rivkah langsung jatuh hati pada ketiganya. Tidak pernah ia merasa gembira seperti saat itu. Rivkah melompat kegirangan, kepalanya membentur tembok batu tempat ia beristirahat. Ternyata, ia bermimpi.

Rivkah mengelus-elus kepalanya, sambil mengamati keadaan pasar. Sepi. Gelap. Dia tidak lagi melihat kabut, tidak sedikit pun. Hatinya berkata ketiga bola asap itu pasti sudah pergi lagi ke tempat lain. Ingin rasanya Rivkah menangis sekeras-kerasnya, menyalahkan dirinya yang terlalu lengah. Rivkah merasa tidak ada lagi yang dapat ia lakukan di pasar itu. Rivkah pun berbalik pulang ke rumah dengan langkah gontai.

Semalaman Rivkah dihantui oleh mimpi-mimpi buruk. Ia melihat ketiga bola asap itu semakin lama semakin menghilang bersama angin. Ia melihat Yang Mahatinggi, dalam cahaya terang, mendatanginya, dengan tangan teracung, berniat melempar Rivkah ke Ruang Tanpa Harapan. Ia melihat dirinya jatuh ke dalam jurang yang tidak berdasar. Akhirnya, Rivkah bangun dan menunggu pagi datang.

Pagi-pagi benar, Rivkah sudah pamit ke ibunya akan ke sinagoge. Untuk urusan ini, Rivkah memang selalu mendapatkan ijin karena ibunya mengerti tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengatur meja sajian di sana. Setelah memenuhi perutnya dengan sarapan apa adanya, Rivkah pun berjalan cepat menuju sinagoge. Apapun yang terjadi, Rivkah memberanikan diri menemui Yang Mahatinggi. Ia ingat Imam Besar pernah berkata bahwa Yang Mahatinggi itu penuh belas kasihan namun juga sangat tegas dengan dosa dan pelanggaran. Rivkah tidak tahu ia akan dapat belas kasihan ataukah ketegasan dari Yang Mahatinggi. Ia hanya merasa hanya Yang Mahatinggi yang bisa memberi jalan keluar.

Sesampainya di sana, Rivkah segera mengganti pakaian dengan jubah pengatur meja sajian. Imam Besar juga pernah berkata jika ingin bertemu dengan Yang Mahatinggi, jangan dengan tangan hampa. Rivkah mengeluarkan roti buatan ibunya dari dalam tas untuk dipersembahkan pada Yang Mahatinggi. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli sesuatu yang lebih pantas untuk dipersembahkan kepada Yang Mahatinggi. Dan, menjelang hari Perayaan Besar, harga-harga barang semakin mahal. Rivkah mengambil resiko besar untuk mendatangi Yang Mahatinggi hanya dengan roti di tangan. Dia tidak punya pilihan lain.

Rivkah menyelinap masuk melalui tirai tebal yang menutupi tempat Yang Mahatinggi.

"Rivkah, apa yang kau lakukan di sini?"

Suara berwibawa itu mengagetkan Rivkah. Benar kata Imam Besar, Yang Mahatinggi tidak pernah tertidur.

"Anu, eh, begini Yang Mahatinggi."

Belum selesai Rivkah mengucapkan kalimatnya, Yang Mahatinggi muncul dalam bentuk sinar terang. Rivkah benar-benar ketakutan. Roti yang ada di tangannya terlempar jatuh. Tanpa disadari, Rivkah menangis, tidak sanggup berdiri, wajahnya mencium lantai ruang itu.

"Yang Mahatinggi, ampuni saya, ketiga bola asap yang Engkau percayakan padaku hilang. Saya sudah berusaha mencarinya, tetapi tidak ketemu juga. Apa yang harus saya lakukan, Yang Mahatinggi? Saya memang ceroboh."

Roti yang tergeletak di lantai, melayang-layang, bergerak menuju tempat sinar Yang Mahatinggi.

"Aku terima persembahanmu, Rivkah, kelihatannya roti ini enak sekali, ya?"

Rivkah bingung. Sepertinya, Yang Mahatinggi memang senang dengan roti yang dibawanya. Rivkah memberanikan diri menanggapi perkataan Yang Mahatinggi.

"Benar, Yang Mahatinggi, memang enak sekali, mamaku yang membuatnya. Roti ini kesukaanku. Sebenarnya seluruh keluargaku menyukainya."

Yang Mahatinggi tergelak. Suaranya indah sekali. Rivkah jadi ingin juga tertawa bersama. Tetapi, tentu saja akan dianggap kurang ajar. Rivkah hanya tersenyum simpul.

"Rivkah, Aku menyukai dirimu. Aku menyukai semua orang. Aku senang kau mau datang kemari menemui-Ku. Aku melihat hatimu yang sedih, menyesal karena ketiga bola asap itu. Kau memang sudah bertindak ceroboh, dan kau mengakuinya. Coba lihat ke belakang!"

Rivkah membalikkan tubuhnya. Ketiga bola asap itu sudah ada di hadapannya. Mereka bergerak ke sana kemari, tak beraturan dengan warna cahaya yang berbeda-beda. Sangat indah. Persis seperti di dalam mimpinya di pasar kemarin. Segala beban yang dirasakan sejak kemarin, terangkat seluruhnya. Rivkah turut melompat-lompat di antara ketiga bola asap itu sambil tertawa sukacita. Baru kemudian, Rivkah tersadar dirinya masih ada di ruang Yang Mahatinggi.

"Yang Mahatinggi, bagaimana Engkau melakukannya? Bagaimana Engkau menemukan mereka?"

Suara Yang Mahatinggi terdengar lembut berkata kepada Rivkah.

"Rivkah, kesayangan-Ku, mereka itu milik-Ku sebagaimana kau juga milik-Ku. Bagaimanapun caranya, pada akhirnya, mereka akan kembali pada-Ku. Aku ingin kau turut menjaga mereka agar kau tahu betapa berharganya mereka bagiku. Aku tahu sekarang pun kau sudah belajar betapa berharganya mereka. Mari, perhatikanlah mereka sekali lagi!"

Rivkah melihat ketiga bola asap itu memanjang, lalu melebar sedikit. Lama-lama, wujud manusia terbentuk. Sampai akhirnya terbentuk daging dan manusia seutuhnya. Dua remaja perempuan dan seorang remaja laki-laki. Mereka berlari, memeluk Rivkah. Rivkah tidak mengenali mereka tetapi ia merasa mereka seperti saudara dekat baginya. Terdengar suara Yang Mahatinggi tertawa, senang.

"Merekalah yang akan menolongmu menjaga bola-bola asap lain yang akan kupercayakan padamu. Kalian akan menjadi rekan kerja bersama Aku sebagai Penasihat Ajaib. Ingatlah, kau hanya perlu memberikan kasih murni dalam mengerjakan tugasmu."

Rivkah merasa bahagia walaupun ragu akibat kegagalannya di masa lalu.

"Yang Mahatinggi, terima kasih atas kepercayaan-Mu, tetapi saya masih muda dan kadang-kadang saya nakal, tidak bisa memberikan kasih murni setiap saat seperti yang seharusnya. Saya takut mengecewakan-Mu. Saya tidak pantas menerima tugas ini."

Kali ini, sinar Yang Mahatinggi mendekat dan ada bagian sinar itu yang menyentuh bahu Rivkah. Terasa hangat, menyejukkan baik tubuh maupun perasaan Rivkah.

"Rivkah, percayakah kau pada-Ku?"

"Ya, Yang Mahatinggi, saya percaya sepenuhnya kepada-Mu."

"Aku tidak pernah salah memilih orang. Dan kaulah yang kupercayakan tugas mulia ini. Aku hanya ingin mendengar kau bersedia mengerjakannya. Selebihnya, serahkan pada-Ku. Kau dapat datang kepada-Ku kapanpun kau mau. Dimanapun."

"Dimanapun, Yang Mahatinggi? Maksudnya, saya tidak perlu datang kemari tiap saat?"

"Benar sekali, Rivkah. Aku ada dimana-mana. Ingat, Akulah yang memiliki segala sesuatu. Jadi, bersediakah kau melakukan tanggung jawab ini?"

"Ya, Yang Mahatinggi. Saya bersedia."

"Pergilah dengan damai. Aku menyertai kalian."

Rivkah dan teman-teman barunya pun meninggalkan ruang itu. Sejak saat itu, mereka dikenal sebagai Penjaga Bola Asap hingga mereka tua.


No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...