Tuesday, February 25, 2014

Guci itu Pernah Pecah

Dea baru saja akan keluar untuk menemui teman-temannya di sebuah mal ketika matanya tertumpu pada pecahan keramik yang berserakan di lantai ruang tamunya. Langkahnya terhenti, pikirannya bercabang. Terus melanjutkan perjalanannya atau membersihkan pecahan itu. Dia khawatir, jika tidak segera dibersihkan, pecahan itu akan melukai kaki dari salah satu anggota keluarganya. Buru-buru diambilnya sapu dan pengki, kemudian mendekati pecahan itu.

Gerakan  tangannya terhenti karena matanya mengenali satu tanda khusus di badan salah satu pecahan itu. “Itu guci kesayangan Papa.” Jantung Dea serasa berhenti berdegup beberapa waktu. Dia tahu ini bukan kesalahannya, ada orang lain atau sesuatu yang menyambar guci itu, dan membiarkannya berserakan begitu saja.


Terbayang oleh Dea wajah teman-temannya yang menyambutnya di mal dan bersenda gurau bersama. Tetapi kemudian, wajah Papanya tercinta yang sedih mengetahui guci kesayangannya sudah berada di tong sampah menghapus bayangan indah itu. Dea terpaksa membatalkan pertemuan dengan teman-temannya.

Sekarang tinggal Dea dan pecahan guci itu. Diambilnya pecahan terbesar, berpikir, mengambil bagian lain, merekatnya dengan lem, berpikir, begitu seterusnya. Dahinya berkerut-kerut, mulutnya komat-kamit memberi arahan bagi dirinya sendiri. Tetesan darah mulai mengalir dari jari-jarinya yang tertusuk dan tergores bagian tajam dari pecahan itu. Sesekali jari yang berdarah dimasukkan ke mulut untuk menghentikan alirannya.

Dan akhirnya, selesailah pekerjaan itu. Kini guci itu dapat berdiri tegak lagi. Namun dahinya masih saja berkerut, tidak puas.

Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan dari belakang. Papa Dea sudah berdiri di sana sedari tadi memperhatikan Dea bekerja. Dia memandang Dea dengan penuh kasih dan kemudian merentangkan tangannya untuk memeluk Dea dengan erat. “Baik sekali perbuatanmu, anakku, kamu sudah berusaha keras memperbaiki guci kesayangan Papa, “katanya sambil mencium pipi. Dia mengambil kedua tangan Dea dan membalut luka-lukanya.

Dea tidak mampu memandang kedua mata Papanya. “Tapi…masih belum sempurna, Papa,” katanya lirih. “Tenang saja, Dea sayang, coba lihat apa yang bisa Papa lakukan,” katanya sambil tersenyum. Dengan kemampuan seninya yang baik, Papa Dea berhasil menghilangkan garis-garis akibat pecahan. Dea menatap kagum pada Papanya dan hasil kerjanya.

Mereka berdua tersenyum puas, kemudian meletakkan guci tersebut di tempatnya sedia kala.

Dan setiap kali orang melihatnya, mereka mengagumi keindahan guci itu.

Hanya saja, mereka tidak pernah tahu, guci itu pernah pecah.

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...