Tuesday, January 6, 2015

Saat Sahabatmu Menikah

Saat sahabatmu menikah, kamu juga turut berbahagia
Akhirnya, setelah semua pergumulan berat menjelang hari bahagia itu,
Sahabatmu berdiri di sana bersama suaminya,
Kamu juga di sana, di antara para tamu, memandangi wajah sahabatmu
Kamu segera tahu, itulah saat terakhir kebersamaan kalian

Sebulan berlalu sejak pernikahan Anas, sahabat Nita. Pernah sekali waktu mereka berjalan bersama setelah pernikahan itu. Nita bercerita seperti biasanya tentang hal-hal sepele di kantor mereka. Anas mendengarkan dan memberi komentar, seperlunya. Nita memalingkan muka melihat wajah Anas. Ada yang hilang di sana. Anas tidak lagi sama. Tiba-tiba saja Nita merasa sendirian. Percakapan masih terus mengalir dari mereka berdua, namun tidak lagi seperti dulu. Sejak saat itu, Nita selalu menghindar ajakan Anas untuk bertemu. Buat apa? Keadaan sudah berbeda sekarang.

Ada sesuatu yang disimpan Anas. Entah apa itu. Nita tidak ingin menanyakan karena seharusnya di antara sahabat, tidak ada rahasia. Nita tidak ingin tahu juga. Anas berbeda karena keadaan. Bukan, bukan itu yang hilang. Keceriaan Anas, kemana perginya? Mengapa sekembalinya dari bulan madu, dirinya terlihat tidak begitu bersemangat? Nita berharap Anas cukup mempercayainya sebagai sahabat, bercerita sedikit saja beban pikirannya. Anas tidak pernah bercerita. Nita juga tidak bertanya.

Saat Anas menunggu Nita untuk pulang bersama, Nita segera menolak dengan halus, dengan alasan yang masuk akal. Anas mengangguk, memandang kepergian Nita dengan wajah sedih. Dalam hati, Nita tidak bermaksud membuat Anas sedih. Justru sebaliknya, Nita memberikan ruang bagi Anas untuk menjauh dari hidupnya dan mendekatkan diri pada suaminya. Nita menumpang motor teman yang kebetulan searah dengan tujuan Nita.

Tidak terasa, sudah waktunya Anas  mengundurkan diri dari kantor mereka. Sebelum menikah, Anas sudah memberi tahu Nita tentang hal ini. Hanya saja, kenyataan Anas tidak lagi satu kantor dengan Nita benar-benar jadi jurang pemisah yang lebar bagi hubungan mereka. Nita juga kehilangan semangat kerja setelah kepergian Anas. Akhirnya, ia memutuskan untuk menerima undangan saudaranya untuk menetap di Perancis.

Angers, kota kecil yang rapi dan ramah, membuat Nita cepat melupakan semua kenangan di Jakarta. Hidup di sana mirip seperti dilahirkan kembali. Nita menyerap semua energi positif di kota itu. Ia mengambil pendidikan kuliner, membuat kue-kue Perancis yang unik. Rencananya, ia akan kembali lagi ke Jakarta dan mendirikan kafe rumah baca, gabungan antara kafe untuk menikmati teh dan kopi ala Eropa serta kue-kue penyertanya dan tempat membaca serta membeli buku. Buku dan kopi. Duet maut yang selalu menggugah seleranya.

Rupanya tempat Nita menggali ilmu kuliner mengharuskan tiap siswanya magang di salah satu restoran yang ada di Angers. Tidak sulit bagi Nita mendapatkan kesempatan itu dengan pertolongan suami saudaranya yang kebetulan bekerja sebagai koki di hotel terkenal di sana. Siang hari, Nita belajar di kampus, malamnya, ia bekerja hingga pukul 10 malam. Dengan kulit eksotis yang dimilikinya, banyak pula pemuda Angers yang mengajaknya berkencan. Nita tidak punya waktu ekstra untuk mereka. Ia hanya punya satu tujuan, menyelesaikan sekolah itu dan kembali ke Jakarta. Lebih baik hujan air di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang lain, peribahasa ini sangat mengena untuk Nita.

Malam itu, Nita tidak bisa tidur seperti biasanya. Setelah 3 bulan berlalu, Nita memutuskan untuk mencari rumah tinggal yang terpisah dari saudaranya. Meskipun saudaranya itu baik, Nita tetap merasa tidak berkembang jika tinggal dengan saudaranya itu. Lagipula, anak-anak saudaranya sudah besar-besar, tentu mereka lebih membutuhkan kamar yang dipakai oleh Nita. Dan benar saja, saudara Nita segera menyambut senang usul Nita untuk mencari tempat lain. Nita memilih tinggal di hunian di tengah-tengah kampus dan tempat kerjanya. Rupanya, Nita sudah terbiasa dengan keramaian sehingga tinggal sendirian di kamar itu membuatnya tidak bisa tidur.

Untung saja, Nita sudah membeli laptop sekaligus internet dan buku-buku serta berbungkus-bungkus makanan ringan serta kopi dan teh di tempat baru ini. Semua perlengkapan hiburan tersedia. Nita memilih membuka laptop, berharap ada inspirasi untuk menulis sesuatu. Buntu, tidak ada ide apapun. Akhirnya, Nita menjelajah berita-berita tentang Indonesia lewat internet. Ada kerinduan mendalam saat melihat orang-orang berkulit eksotis yang mirip dirinya dari layar monitor komputer. Banjir, kemacetan, korupsi, dan lain-lain, masih berita yang sama saat ia meninggalkan Jakarta.

Jejaring sosial yang pernah dia miliki tidak diaktifkan saat ia memutuskan untuk pergi ke Perancis. Lewat mesin pencari ternama, google, Nita mengetikkan satu nama yang sudah lama tidak dihubunginya. Anas. Sebentar saja, wajah Anas sudah terpampang di layar komputernya. Membaca linimasa Anas, Nita berkesimpulan sahabatnya itu baik-baik saja. Anas sedang hamil di foto itu. Kelihatan sekali dia bahagia sebagai calon ibu. Nita menutup komputer dan segera menarik selimut memuaskan rasa kantuk yang sudah menderanya. Malam itu, Nita bermimpi ada di suatu restoran bersama dengan Anas berbincang-bincang sambil tertawa-tawa, seperti masa-masa sebelum Anas menikah.

Ada rumor tidak sedap di lingkungan sekolah kuliner Nita. Entah siapa yang menyebarkan berita itu, siapa pun dia, pastilah dari salah satu pria yang ditolak cintanya oleh Nita. Rumor itu menyebutkan dirinya seorang pecinta sesama jenis, sesuatu yang lazim di Perancis. Tetapi tentu saja hal itu tidak benar. Nita tidak terlalu peduli, justru senang karena dia tidak perlu mencari-cari alasan menolak cinta pria-pria Angers itu. Sedangkan saudara Nita berang mendengar rumor ini. Ia memutuskan untuk ikut campur dengan kehidupan cinta Nita. Dia ingin membuktikan Nita masih menyukai pria, walaupun dia sendiri ragu apakah Nita masih memiliki orientasi seksual yang sama. Les homes peuvent changer. Manusia bisa berubah.

Kegiatan percomblangan pun dimulai. Semua jenis pria dikenalkan kepada Nita. Biarpun berulang kali Nita menjelaskan agar tidak mempercayai rumor itu, saudara Nita tetap saja tidak berhenti mencomblangi Nita. Sepertinya ia tidak akan berhenti hingga Nita mengatakan ya pada salah satu dari pria-pria tersebut. Nita merasa seperti puteri raja yang sedang mencari pangeran yang hilang. Karena kasihan dengan usaha saudaranya ini, Nita pun mengikuti saja skenario yang disodorkan oleh saudaranya. Akhirnya, Nita memutuskan untuk berkencan dengan seorang pria petualang yang kelihatannya tidak berkomitmen dengan hubungan yang serius. Tentu saja, tujuannya agar setelah beberapa saat berkencan, si pria memutuskan Nita terlalu menjaga diri sehingga membuat dirinya bosan. Pria petualang selalu merasa cepat bosan. Justru itulah yang diharapkan Nita.

Rupanya, saudara Nita tidak berhenti pada saat percomblangan berhasil. Tiap kali pulang berkencan, saudara Nita menanyakan perkembangan hubungan Nita dengan Cedric, pria petualang itu. Apakah Cedric sudah menciumnya, melamarnya dan sebagainya. Nita akan pasang wajah sedih dan menjawab semua pertanyaan itu dengan tidak. Padahal semua bohong. Entah mengapa, Cedric malah serius sekali dengan Nita. Padahal sama sekali Nita tidak memberi harapan padanya. Cedric tergila-gila dengan kulit eksotis Nita, dengan kegadisannya, dengan kejudesannya. Pria memang aneh. Pria Perancis lebih aneh lagi.

Nita berencana menyudahi hubungan ganjil dengan Cedric. Dia tidak berencana berlama-lama memberikan harapan palsu pada Cedric dan saudaranya karena sebenarnya mereka berdua baik sekali. Cedric bukan pria petualang pada umumnya. Dia tidak pernah terlalu mengumbar romantisme. Kalau saja Nita punya sedikit rasa cinta pada Cedric, tentu romantisme Cedric akan disambut baik. Sayangnya, tidak. Nita berencana untuk mengatakan hal ini menjelang kepulangannya ke Jakarta. Seperti membunuh dengan senapan, sakit tetapi kematiannya segera datang.


Saat itu pun tiba. Sengaja tidak diberitahukan rencana kepulangannya pada Cedric. Nita memilih menyudahinya dengan cara yang paling sopan. Mengajaknya makan di sebuah restoran yang sedikit mewah dengan tampilan yang disesuaikan dengan keadaan restoran tersebut. Malam itu, Nita tampil segar dan cantik. Gaun pendek merah Nita memancarkan kulit eksotisnya yang bersih dan bersinar. Saat menjemput Nita, Cedric tidak dapat menyembunyikan kekagumannya. Nita merasa menyesal memilih gaun tersebut. Sepertinya, perpisahan mudah dan tidak menyakitkan, tidak akan terjadi malam ini.


Setibanya di meja yang sudah mereka pesan sebelumnya, Cedric mendorong keluar kursi Nita dan mempersilakannya duduk bak seorang bangsawan memperlakukan gadis pujaannya di abad pertengahan. Nita jadi merasa sedang menjadi salah satu artis film Perancis tempo dulu. Nita mengucapkan terima kasih dan duduk berhadapan dengan Cedric. Nita dapat melihat dengan jelas sinar kelembutan di mata Cedric. Kasihan sekali pria ini. Nita mengalihkan pandangan keluar jendela. Ia masih merasa Cedric menatapinya. Tidak berapa lama, pesanan mereka datang.

Setelah menghabiskan makan malam mereka, pelayan menuangkan anggur merah sebagai pendamping sajian ikan salmon sebelumnya. Cedric menceritakan semua pengalamannya berkeliling dunia, sementara Nita sesekali mencuri pandang melihat jam sambil berusaha menanggapi cerita-cerita tersebut dengan sopan. Setelah dirasa Cedric mulai sedikit mabuk dengan anggur itu, Nita menyela obrolan Cedric dengan sopan. Lalu tanpa perasaan, Nita mengatakan segala sesuatu yang harus dikatakan pada Cedric malam itu. Cedric menatapnya dalam-dalam tanpa mampu berkata apa-apa. Nita pamit untuk segera kembali ke kamarnya karena jam keberangkatannya pagi hari. Cedric mematung.

Keesokan harinya, Nita pergi sendirian ke bandara Charles de Gaulle. Barang-barang yang dibawa kembali ke Jakarta tidak banyak. Nita memang bukan tipe wanita yang suka mengoleksi barang. Beberapa barang yang sudah dibeli saat tinggal di Angers dibagi-bagikan secara gratis kepada teman-teman satu kerja dan sekolah. Satu tas khusus menyimpan oleh-oleh yang sudah dipesan oleh keluarga dan sanak saudara di Jakarta. Mereka sudah memesannya seminggu sebelum kepulangannya dan terus menerus mengingatkan Nita agar tidak lupa membeli pesanan mereka. Mereka tahu Nita kurang apik dalam mengurusi pemesanan oleh-oleh.

Setelah melalui berbagai pengecekan dokumen, Nita naik ke dalam pesawat dengan nomor bangku 11A. Bangku tersebut dekat koridor sehingga Nita bisa mengamat-amati penumpang lain. Di seberangnya, pria dan wanita, mungkin suami isteri, mungkin juga tidak, duduk sangat rapat satu sama lain. Si wanita terlihat kelelahan sehingga belum lagi pesawat lepas landas, ia sudah membaringkan kepalanya di pangkuan si pria. Di depan bangku itu, seorang pria berkulit gelap segera memasang musik melalui headphonedan menyandarkan tubuhnya dengan santai. Dibandingkan penerbangan pertama Nita ke Perancis, penumpang di pesawatnya didominasi oleh orang Asia.

Nita membunuh kebosanan selama perjalanan jarak jauh itu dengan membaca buku kuliner. Biarpun dia bukanlah siswa terbaik di sekolah kuliner Angers, Nita yakin usaha kafe buku yang akan dirintisnya di Jakarta bisa sukses. Nita yakin karena kegagalan hanya akan membuat dirinya lebih penasaran, lebih giat lagi mencari cara agar berhasil. Ia juga sudah menyediakan beberapa nama yang rencananya akan dihubungi untuk diajak bermitra. Nita sudah memikirkan dan mencatat rencana kerjanya sejak awal kehidupannya di Angers.

Saat ditawari makanan oleh pramugari, Nita menolak. Di ketinggian seperti itu, Nita tidak dapat menelan makanan berat apalagi yang mengandung produk susu. Nita sudah menyediakan biskuit dan makanan kecil sebagai gantinya. Air mineral juga satu-satunya yang cocok dengan kondisi perut Nita saat ini. Kegiatan baca, mendengarkan musik, tidur, kembali membaca, menonton beberapa film yang tidak pernah selesai cukup juga membuat dirinya terhibur selama perjalanan. Akhirnya, pesawat yang ditumpanginya tiba di bandara Soekarno-Hatta.

Nita. Seseorang memanggil namanya. Anas berdiri di situ bersama kedua orangtua Nita. Dia sudah menggendong seorang anak berusia kira-kira 3 tahun. Nita langsung jatuh hati melihat bocah montok dan lucu itu. Setelah memeluk kedua orangtuanya, Nita berjalan mendekati Anas dan anaknya. “Hi, Nas, apa kabar?” sapa Nita sambil tersenyum. “Baik, Nit. Lu gak bilang-bilang pergi ke Angers. Tega banget sih lu. Apa salah gue?” tanya Anas bertubi-tubi.

Nita yang tidak siap dengan pertemuan ini tidak menemukan jawaban yang cepat. Suasana menjadi kikuk. Kedua orangtua Nita meninggalkan mereka dengan alasan mengambil barang yang ketinggalan di dalam mobil. “Anas, maaf tapi waktu itu gue merasa harus melakukannya. Lu kan tau gue orangnya suka dadakan.” Nita berusaha menjawab semasuk akal mungkin.

Kening Anas berkerut, mulutnya tambah maju ke depan. Pemandangan ini terlihat lucu bagi Nita. Dia tidak dapat menahan tawa. Kali ini, suara Anas meninggi, “Lu tuh garing ya Nit, pergi gak ngabarin, datang kasih alasan gak masuk akal, sekarang lu ngetawain gue. Gak lucu tau.” Tawa Nita langsung berhenti. Anak di gendongan Anas mengkerutkan badannya tanda terkejut. Anas buru-buru menenangkan anaknya.

Nita mengajak Anas berjalan menuju sebuah kedai kopi kecil di bandara. Setelah mereka duduk dan memesan minuman, sikap tubuh mereka mulai menegang lagi. “Anas, to be honest, gue sedih lu berubah sejak lu menikah. Biarpun gue sudah coba menyiapkan diri gue dengan kenyataan ini, tetap saja gue sedih. Lu gak sama lagi. Yah, daripada gue suntuk sendiri, mending gue pergi cari petualangan baru di negeri orang. Lumayan Nas, sedih gue jadi gak kelamaan, malahan gue bisa belajar banyak di sana. Biarpun gue musti sedikit rempong ama manusia-manusianya.”

Kali ini, Anas tidak lagi menunjukkan wajah bete. Dipaksanya untuk tersenyum, berusaha bersimpati dengan perasaan temannya. Tidak disangka, Nita yang kelihatannya tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan teman karena kepribadiannya yang periang dan selalu banyak canda, sebegitu sedihnya hingga memilih untuk meninggalkan Jakarta. Jauh di dalam lubuk hatinya, Anas tahu, Nita pasti punya alasan yang kuat memilih pergi diam-diam.

“Nita, gue berusaha menjaga persahabatan kita agar sama seperti dulu. Segala persiapan pernikahan ternyata begitu menyita pikiran gue. Kehidupan setelah pernikahan tuh penuh tanggung jawab. Untungnya, suami gue, David, baik banget. Gue merasa lu bakal bosan dengar cerita gue tentang kehidupan rumah tangga. Dan, jujur, gue kangen bisa ngobrol ama lu panjang lebar tanpa perlu lihat jam, seperti dulu. Gue sedih banget waktu denger kabar lu udah di Angers. Gue merasa lu gak anggap gue sahabat lagi,” airmata menggantung di kedua bola mata Anas.

“Anas, aduh, jangan nangis donk. Ah lu mah masih cengeng aja, belum berubah,” Nita berusaha menenangkan Anas. “Rese lu, malah ngatain gue cengeng. Lu tuh garing, pergi diam-diam kayak maling aja!” Anas menyeka airmata cepat-cepat. “Iya deh, gue garing, tapi lu cengeng, Nas! Haha” tawa Nita semakin kencang. Senang melihat sahabatnya bisa kembali menanggapi ledekannya. “Tuh, liat deh, gue bawa kaca nih, liat tuh bibir udah lebih panjang dari hidung Pinokio. Gimana gue gak ketawa? Haha.” Anas ikut tersenyum dan akhirnya tertawa bersama Nita. Anak lelaki Anas ikutan tertawa.

Hidup memang tidak selamanya sama. Bagaimanapun keadaannya, seorang sahabat akan saling mengerti dan tetap mengasihi satu sama lain. 

               
               


No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...