Tuesday, May 19, 2015

Mau Jadi Apa?

Jadi, ceritanya kami di dalam satu gereja ada di musim penginjilan. Beberapa orang datang ke satu tempat yang sudah kami doakan bersama, mereka 'berjuang' di sana tetapi kami yang tidak pergi, berdoa. Hanya berdoa? Eh, jangan salah, berdoa tuh perjuangan juga loh. Murid-murid Yesus saja meminta agar Yesus mengajari mereka berdoa, karena memang tidak mudah. Juga Yesus mengutus Roh Kudus ke dalam hati kita setelah pengangkatan-Nya ke surga untuk berdoa dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.

Bukan tentang doa yang ingin saya posting kali ini, tetapi tentang komitmen. Saya dan satu teman mengalami kejadian yang nyaris mirip semalam. Kami sama-sama malas datang komsel. Bukan tentang suasana yang membosankan, atau teman-teman sekomsel yang membuat hati tidak enak, bukan tentang itu semua. Kalian juga pasti pernah merasakan malas tanpa alasan, terutama mengerjakan disiplin rohani. Tidak ada teguran keras atau omelan kalau tidak datang komsel. Semua akan baik-baik saja. Tetapi kenapa harus berkomitmen datang komsel?


Itu yang ada di pikiran saya, kenapa harus? Sesekali tidak apalah saya absen karena saya termasuk yang rajin di atas rata-rata untuk datang komsel. Maksud saya bukan untuk menyombongkan tetapi di titik ini, saya sudah merasa cukup baik dan punya alasan untuk tidak melanjutkan komitmen. Jadi, karena jalanan yang saya lewati macet malam itu, jari-jari saya sudah mengetikkan alasan yang segera dikirim ke ketua komsel menyatakan saya tidak hadir karena macet. 

Entah kenapa, hanya dibatas tertentu saja, jalanan itu macet. Si supir angkot ogah putar balik sehingga saya tidak bisa kembali ke kos. Dan entah kenapa juga, pesan itu hanya tertahan di ruang chat, belum terkirim. Kebetulan, bus ke Jakarta sudah stand by, seperti sedang menunggu saya. Dengan segala keengganan, masih juga saya berpikir untuk kembali ke kos, sudah sejauh itu melangkah. Aneh.

Setelah menyelesaikan komsel, saya dan satu teman bertukar cerita tentang pengalaman kami berjuang melawan kemalasan datang komsel. Dia bilang dia ingat dengan pendeta kami yang ada di suatu tempat untuk penginjilan, masa untuk berdoa saja dia malas? Saya juga bilang, saya ingat pendeta kami, dan tahu saya tidak bisa ke sana, masa untuk berdoa bersama tidak mau? Mau jadi apa???

Saya berpikir sekarang ini, seringkali kita membaca tentang perjuangan orang-orang di ladang misi dengan secangkir kopi di sebelah meja kita, ruang AC yang membuat kegiatan membaca ini nyaman, diiringi musik merdu dari komputer ataupun tape, membuat kita lupa bahwa perlombaan iman itu BUKAN untuk para penginjil saja. Kewajiban ini, ya Alkitab menyatakan bahwa ini adalah perlombaan yang DIWAJIBKAN untuk semua orang, seharusnya membuat kita tidak tenang kalau tidak melakukan apa-apa. 

Bukan tanggung jawab pendeta saja, atau tanggung jawab pengerja di gereja, atau tanggung jawab orang-orang yang punya 'karunia' menginjil saja untuk memenangkan jiwa-jiwa di sana. Apa yang bisa saya lakukan? Saya harus ikut dalam perlombaan ini, tidak ada alasan. Saya bisa berdoa dengan tekun bagi mereka yang pergi, dan bagi jiwa-jiwa calon petobat baru. Saya bisa menghibur, menguatkan, menegur orang-orang di dalam gereja yang lemah iman. Saya tidak bisa hanya 'menonton' saja. Kita tidak dipisahkan dari dunia untuk menjadi penonton tetapi pelaku, orang-orang yang ikut bertanding.

Kalau tidak melakukan itu semua, mau jadi apa saya? mau jadi apa kalian?

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...