Sunday, January 31, 2016

I love you UNCONDITIONALLY

Sabtu lalu, saya dan Mama serta keponakan kesayangan berkunjung ke rumah salah seorang teman Mama. Kenangan yang saya ingat dari orang yang saya sebut 'inanguda' sudah hilang sama sekali, hanya tersisa wajahnya saja. Saya ikut senang ketika melihat wajah inanguda ini kala menjemput kami di suatu tempat. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Inanguda ini banyak bercerita tentang perubahan di lokasi tempat tinggalnya.

Sesampai di rumahnya, si inanguda menjamu kami dengan sepiring mie dan teh manis hangat. Pas sekali menemani hari yang sudah hujan. Pembicaraan berlanjut ke soal cucu. Inanguda itu punya cucu seorang perenang handal. Karena persoalan keluarga, terpaksa Inanguda, sang nenek, yang mengantarkan cucu ini ke tempat latihan renang. Wajar jika nanguda ini membanggakan 'hasil kerja keras'-nya dengan memperlihatkan video kemenangan cucunya.

Lalu, pembicaraan berlanjut ke cucu nomor 2 yang usianya sama dengan keponakan saya. Mereka disuruh bernyanyi di depan kami. Keponakan saya memang kurang percaya diri kalau tampil di depan orang, tetapi saya tahu dia sudah berusaha mengalahkan keminderannya. Pada akhirnya, mereka bernyanyi berdua. Saya bertepuk tangan setelah mereka bernyanyi, sementara Inanguda berkata kepada cucunya, "Apa ini, jelek suaranya!" Untung dia tidak berkata demikian ke keponakan saya. Mungkin, saya bisa menimpali kata-kata sanggahan yang akan membuat suasana tidak enak.

Komentar dari menantu inanguda, "Oh, si (keponakan saya) masih cadel ya? Kalau si (cucu nomor 2 inanguda) sudah tidak cadel sejak 2 tahun. Dia juga sudah bisa membaca dengan mengeja 2 huruf-dua huruf!" Saya memandangi keponakan saya. Saya juga berpikir apa yang salah dengan dirinya. Ketika menyuapi dia makan, saya juga sempat berkomentar, "Si (cucu nomor 2) sudah bisa makan sendiri ya? Kamu juga donk."

Pukul 8 malam, kami baru beranjak pulang dari rumah Inanguda. Di dalam bus, Mama juga berkomentar pada keponakan saya, "Ah, kalau di luar rumah, jadi anak yang minder. Disuruh nyanyi gak mau." Saya menimpali, "Mama, dia kan sudah mau nyanyi, biarpun hanya satu lagu." Lalu, Mama saya menyetujui kata-kata saya. Terpikir oleh saya, keponakan saya juga pintar, bisa bersaing dengan cucu-cucu Inanguda. 

Pagi ini, saya memikirkan kembali kejadian kemarin. Saya ini 'produk' persaingan juga. Persaingan yang diprakarsai para orangtua yang senang membanding-bandingkan anaknya. Saya ingat sekali, saya menilai diri saya baik atau buruk berdasarkan seberapa jauh saya bisa mengungguli sepupu, teman, kenalan lainnya. Saya ingat 'mendung' selalu mengisi kepala hanya karena nilai yang 'tidak memuaskan'. 

Saya tidak ada maksud menjelek-jelekkan orangtua sendiri. Saya bersyukur punya orangtua yang bertanggung jawab. Saya menerima kelemahan mereka sebagaimana saya juga tidak sempurna. Hanya saja, melihat keponakan saya yang meringkuk di kursi tanpa perlawanan mendengarkan komentar tidak enak tentang dirinya, membuat kenangan masa kecil saya kembali lagi. Saya selalu melihat kenangan itu sebagai masa paling gelap di dalam hidup saya. 

Saya sudah bisa melihat bahwa semua manusia unik. Manusia kecil yang disebut anak-anak, mereka punya perasaan yang sempurna. Mereka mendengar komentar tentang dirinya, tanpa perlawanan. Berdosalah kita yang tidak melihat mereka sebagai ciptaan yang sempurna, terlepas dari pencapaian yang mereka dapat di dalam hidup. 

Pencapaian terbaik yang bisa 'dicapai' seorang manusia, atas anugerah Tuhan adalah ini: 
Kolose 1 : 9 Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna,

And for my nephew, I love you unconditionally :)





No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...