Thursday, August 22, 2013

Mujizat

Setiap orang rasanya pernah mengharapkan terjadi mujizat di dalam hidupnya. Mujizat bagi sebagian besar orang berupa jalan keluar yang tidak disangka-sangka, jawaban yang tepat dan segera. Persis seperti yang saya rasakan saat ini. Saya membutuhkan mujizat dari penyakit menyebalkan yang menghinggapi saya. Saya sudah melakukan apapun untuk mengobatinya bahkan saya tidak lagi minum kopi. Padahal saat bekerja di kantor, saya butuh 'semangat' dari secangkir kopi itu. Saya menjadi putus asa dan jengkel saat pemulihan kesehatan yang saya harapkan sepertinya tidak terjadi dengan cepat. Sementara itu, saya punya serangkaian aktifitas yang rasanya tidak bisa saya tinggalkan.



Tadi pagi, saya dan 2 rekan kerja lainnya mengadakan perenungan sebelum bekerja, seperti biasanya. Kami membaca kisah mujizat yang ada di 2 Raja-raja 4:38-44. Seorang nabi bernama Elisa, menyuruh bujangnya untuk melakukan dua hal yang merupakan mujizat bagi orang lain. Pertama, nabi itu menyuruh bujangnya untuk menaburkan tepung pada masakan yang beracun sehingga rombongan nabi selamat dari maut. Kedua, nabi itu menyuruh bujangnya untuk menghidangkan 20 roti jelai kepada 100 rombongan nabi yang datang. Tentu saja, untuk perintah yang kedua ini, si bujang dengan segera mengajukan protes bahwa hal itu tidaklah mungkin. Si nabi tidak menanggapi protes itu, dia hanya menekankan perintahnya dengan perkataan, "Bagikan saja supaya mereka makan, sebab TUHAN berkata bahwa mereka akan makan dan setelah makan masih ada sisanya."

Setelah membaca kisah ini, saya mengerti sesuatu yang indah. Saya yakin saat nabi Elisa menyuruh si bujang menaburkan tepung ke atas makanan yang beracun itu, ia sedang mendapatkan hikmat, strategi praktis untuk menanggulangi permasalahan yang darurat. Saya yakin nabi Elisa mendapatkan hikmat ini secara supranatural, di luar pengetahuannya karena ia bukanlah ahli kimia atau ahli racun. Nabi Elisa melakukan dorongan hati yang didasarkan pada kepekaan akan kebutuhan orang lain untuk diselamatkan, dan Tuhan Allahlah yang memberikan dorongan itu dan juga hikmat untuk menolong.

Pengalaman mujizat kedua, membagi-bagikan 20 roti jelai untuk 100 rombongan nabi, itu sesuatu yang gila. Tindakan gila yang saya yakin juga didasarkan pada belas kasihan akan kebutuhan orang lain. Saat itu, nabi Elisa dan bujangnya baru saja kembali ke Gilgal, ke tempat bencana kelaparan sedang terjadi. Itu berarti nabi Elisa dan bujangnya juga terancam menghadapi masalah yang sama. Hanya saja, nabi Elisa dan bujangnya sedikit lebih beruntung karena seseorang dari Baal-Salisa datang dan memberikannya gandum yang baru dipotong dan 20 roti jelai. Nabi Elisa tidak menikmati berkat itu untuk dirinya dan bujangnya melainkan membagikannya tanpa peduli akan makan apa mereka besok. Nabi Elisa hanya percaya janji Tuhan bahwa pemberiannya itu akan cukup, bahkan akan mendapatkan sisa. 

Saya yakin teman-teman pembaca juga ingin mujizat datang di kala sebuah persoalan pelik mendera. Saya belajar dari nabi Elisa yang tidak bertindak panik ataupun merasa kuatir berlebihan. Hubungan akrab antara nabi Elisa dan Tuhan Allah membuat ia tidak melulu melihat persoalan dan meratapinya. Ia melihat bahwa Tuhan Allah masih melakukan mujizat hingga kini karena memang begitulah Tuhan. Pertanyaannya sekarang: siapakah Tuhan yang kita sembah? dan sungguh-sungguhkah kita sudah mengenal Pribadi Tuhan itu? 

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku - Filipi 4:13
I can do all things through Christ who strengtheneth me. 

No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...