Wednesday, August 28, 2013

Tak Pernah Padam : bagian 2

Ragu-ragu, Cindy melangkah masuk ke gereja yang sudah lama ia tinggalkan. Cindy sudah berusaha meyakinkan mamanya agar menunggu di luar saja sampai kebaktian selesai. Tetapi mama Cindy lebih keras lagi memaksanya untuk masuk ke dalam. Tempat ini semakin cantik saja. Disapukannya pandangan ke semua arah dan ia tersenyum. Ada suatu aliran perasaan hangat yang singgah di hati Cindy. Mungkinkah Tuhan menyambut kehadiran gue? Cindy mempercepat langkahnya saat ia melihat mamanya sudah jauh di depan, kuatir ia akan kebingungan mencari mamanya yang mungil di antara bangku jemaat.
Banyak wajah baru, mereka terlihat akrab satu sama lain. Mama juga memperkenalkan Cindy lagi kepada teman-temannya karena sepertinya mereka lupa dirinya pernah di gereja itu. Ya, Cindy pernah sangat rajin ikut kegiatan di sana, sampai suatu perasaan lelah menghampirinya. Lelah menjadi berbeda dari teman-teman seumurannya. Lelah menjadi orang yang selalu dianggap bijaksana oleh teman-temannya. Di saat-saat krisis itu, Cindy berkenalan dengan Rio. 

Berbeda dengan Cindy, Rio terlihat selalu bersemangat di setiap kesempatan. Rio sudah mengetahui jalan hidupnya dan tidak beranjak dari panggilannya. Padahal umur mereka tidak terpaut jauh. Hanya berbeda 2 tahun. Cindy sering keheranan melihat kedewasaan Rio ini. Dan keheranan yang bertumbuh menjadi kekaguman ini tidak bertepuk sebelah tangan. Dan dapat diperkirakan, untuk urusan cinta pun, Rio terlihat mantap dan tidak ingin berlama-lama dalam masa pengenalan. Ia melamar Cindy di usia mereka yang sudah matang. Cindy tidak menolak.

Semakin mendekat hari pernikahan, perasaan ragu semakin mendera. Rio sudah memastikan diri menjadi seorang misionaris dan sebagai isterinya nanti, Cindy pun harus mengikuti dia kemana pun. Cindy mencintai Rio dengan segenap hatinya. Cintanya tulus. Cindy tahu pikiran yang ada di dalam dirinya, dia tidak akan sanggup menjadi isteri yang baik bagi Rio. Setiap kali mereka membahas rencana pernikahan mereka, Cindy merasakan tubuhnya menegang, hatinya tidak tenang. Dia merasa harus melakukan sesuatu. Tetapi selalu saja, Rio berhasil meyakinkannya untuk kembali. Hingga saat itu tiba, Cindy sudah tidak dapat menahan diri. Dia meninggalkan semuanya. Ia memilih kabur ke Afrika tanpa penjelasan apapun kepada Rio.

Masih tersisa rasa sesal di dada Cindy karena Rio pasti sangat malu ditinggalkan pengantin wanita tepat pada hari pernikahan mereka. Cindy tidak berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak perlu diperbaiki hubungan kami. Rio berhak mendapatkan yang lebih baik. Gue cuma seorang pecundang. Kilasan peristiwa lima tahun yang lalu seakan tidak berhenti diputar kembali di pikiran Cindy. Kami sudah sangat berbeda sekarang. Biarkan seperti itu. Mata Cindy terbuka tetapi pikirannya tidak berhenti berputar. Suara-suara di sekitarnya serasa seperti lagu latar sebuah film. Film kehidupannya. 

Oh, tidak, kenapa dia ada di sini? Tenggorokan Cindy terasa tercekat. Sepengetahuannya, Rio sudah pindah ke Afganistan dan menetap menjadi misionaris di sana. Cindy melirik mamanya dan kelihatannya mamanya tidak menyadari kepanikan Cindy. Kalau gue permisi ke toilet, pasti malah kelihatan jelas dari atas sana. Cindy gelisah sekali. Dia tidak sanggup menengadahkan kepala. Serasa semua tulang-tulangnya terasa lenyap dari tubuhnya. Ini seperti sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. 

Suara seorang wanita. Diakah isteri Rio? Rasa penasaran membuat Cindy menegakkan kepalanya lagi. Cantik, lembut, seorang wanita Indonesia yang pas sekali untuk Rio. Cindy tersenyum. Tidak sulit buat kamu kan, Rio? She's gorgeous. Cindy merasa kepanikannya berkurang. Rasa bersalah di dadanya, terangkat. Sekarang, ia sudah bisa menatap wajah Rio dengan berani. Dia gak akan mengenali gue. Ya, Cindy sudah mengubah penampilannya sejak di Afrika. Lebih maskulin dengan rambut pendek dan anting yang berjejer di telinganya. Cindy merasa inilah dirinya.

Rio terlihat lebih menarik, rupanya tanah misi sudah menempa dirinya sedemikian rupa. Dia berubah dari pria yang berkobar-kobar menjadi pria yang berwibawa, perkataannya dalam dan tegas. Wanita di sampingnya menerjemahkan setiap perkataan Rio. Dari jauh pun, Cindy dapat melihat kekaguman wanita ini terhadap Rio.  Pasangan yang serasi. Rio menatap jemaat dengan tatapan seorang prajurit. Ya, prajuritnya Tuhan. Cindy menikmati cerita-cerita Rio yang diselingi humor-humor kecil. Dalam tawanya, Rio masih juga terlihat berwibawa.

Tak terasa, acara kebaktian usai juga. Jemaat wanita berebut berfoto bersama Rio yang tinggi dan tampan. Ada yang bergelayutan manja saat berdampingan dengan Rio saat berpose. Mama mengajak Cindy bertemu Rio. Ma, tolong jangan, Cindy gak mau. Jangan paksa Cindy, Ma! Cindy tunggu di mobil, ya? Cindy buru-buru mengambil jalan belakang menuju parkir mobil. 

Di dalam mobil, Cindy menyalakan musik keras untuk mengusir perasaan-perasaan yang tidak menentu. AC dinyalakan, dudukan di sisi pengemudi diturunkan, seperti tempat tidur. Cindy membaringkan tubuhnya di situ, bersantai sejenak. Kejadian barusan benar-benar menguras tenaganya. Tak terasa, Cindy tertidur. Untuk urusan tidur, Cindy tidak punya kesulitan apapun. 

Kaget, Cindy terbangun karena dering telepon genggamnya. Mama, aduh pasti minta dijemput deh! Entah mengapa, mama Cindy selalu kesulitan mencari, apapun. Dan dengan santainya, mama akan menelepon salah satu anaknya jika ingin segera menemukan barang yang ia cari. Benar saja, mama Cindy tidak tahu arah ke tempat mobil diparkirkan. Dengan sebal, Cindy akhirnya mengiyakan. 

Tepat di depan pintu gereja, Rio berdiri di situ bersama wanita tadi. Gawat, gue harus tenang. Mungkin saja, Rio gak kenal gue. Tenang, tenang, Cindy, you can pass the door without him knowing you! Dengan langkah dibuat sangat yakin, Cindy melaju cepat tanpa melihat ke arah Rio. I don't know you, you don't know me! Cindy bersyukur dirinya sudah berkacamata hitam saat itu. Agak aneh memang kalau di dalam ruangan, kacamata itu tidak dilepas. Berhasil, yes! Cindy melenggang masuk ke dalam gereja mencari mamanya yang ternyata masih asik berbincang-bincang dengan teman-temannya.

Sangking keasikan mengobrol, mama tidak juga menyadari kehadiran Cindy. Baru setelah wajah teman mama terlihat bingung, mama menoleh ke samping. Oh, kamu sudah ada di sini, toh? Lama amat sih baru datang. Cindy meringis mendengar kata-kata mama. Gak salah, Ma? kan Cindy yang dari tadi kelamaan nunggu Mama di mobil. Mama memperkenalkan Cindy kepada temannya. Cantik, sudah ada calon? Cindy menggaruk-garuk kepala, meringis. Mama kemudian menceritakan kehidupan cinta Cindy yang kandas akibat ulahnya.

Mau dikenalin? Pertanyaan yang sama yang ditanyakan hampir oleh semua teman-teman mama Cindy. Jeng, saya udah capek ngenal-ngenalin dia ke sana kemari. Dia sih nyentrik orangnya. Mungkin cuma pria dari ruang angkasa yang bisa menawan hatinya. Cindy sekali lagi meringis. Memang Mama tidak bisa disalahkan. Cindy juga sering tidak mengerti dirinya. Karena itu, ia tidak punya banyak teman. Sering merasa kuatir akan mengecewakan orang lain. Mama cukup bijaksana untuk tidak menyebutkan nama Rio kepada temannya ini. Mungkin juga karena Mama sudah terlalu malu dengan kejadian dulu.

Tiba-tiba pembicaraan terhenti. Selamat siang, Pak Pendeta! Pendeta gembala gereja itu sudah ada di tengah-tengah mereka, bersama Rio dan wanita itu. Mama, please don't say anything about me. Please, I beg you! Kata-kata itu terus diucapkannya di dalam hati, berharap manjur untuk mama Cindy. Hi, Rio, nice to meet you again. You look so handsome now. Rio tersenyum senang. Mama Cindy menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Rio. Remember, my daughter? Cindy? Rio melirik Cindy sementara Cindy setengah menatap Rio.

Rio tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Dia terlihat kaget sambil mengamat-amati penampilan Cindy yang baru. Hi, Rio, nice to meet you. Great preaching! Cindy mengepalkan tangan kanannya, seperti seorang pemandu sorak sambil tertawa kikuk. Ma, sudah sore, ayo kita pulang. Cindy tidak kuat lebih lama berada di situ. Bianca, nama saya Bianca. Kami sama-sama melayani di ladang misi. Cindy terpaksa memperkenalkan dirinya kepada wanita itu. Cindy berusaha mengajak mamanya untuk meninggalkan tempat itu, tetapi mamanya tidak bergeming.

Cindy, bagaimana kalau kamu malam ini ikut makan malam bersama kami? Rio akan kembali ke ladang misi besok. Dia ingin menikmati lagi makanan Indonesia. Jangan sampai tidak datang ya? Begitu pesan Pendeta gembala sebelum akhirnya Cindy dan mamanya berjalan pulang. Cindy mengiyakan. Tetapi belum tentu ia akan benar-benar datang. Cindy sudah menyiapkan segudang alasan agar malam ini tidak datang ke acara itu. Dasar pembohong! Cindy mengumpat diri sendiri. Maafkan Tuhan, saya membohongi Pak Pendeta, saya hanya tidak mau bertemu lagi dengan Rio.









No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...