Tuesday, August 27, 2013

Tak Pernah Padam: bagian 1



Semua kepala tertuju padanya. Cindy cantik sekali dalam balutan baju pengantin berwarna putih. Tidak seorang pun akan menyangka bahwa sesungguhnya batin Cindy bergetar hebat hingga lutut dan tangannya ikut bergetar. Dari balik cadar, ia memandang Rio, yang beberapa menit ke depan akan resmi menjadi suaminya. Dia tampan sekali. Cindy tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Mengapa saat yang penting ini, ia harus merasa cemas berlebihan? Seolah-oleh pernikahan ini sebuah kesalahan. Dan pastinya, bukan kesalahan Rio.

Selangkah demi selangkah menuju altar, Cindy merasa atmosfer di sekitar semakin menekan saja. Tatapan kagum para tamu dan Rio tidak juga menghapus rasa gelisah yang semakin mendera. Cindy merasa harus melakukan sesuatu. Cindy membalikkan badannya, membuang bunga yg ada di tangannya dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan ruangan itu. Aku harus pergi, jauh, jauh sekali. Seperti seorang gila, Cindy berteriak-teriak memanggil taksi dan kabur dari tempat itu.

Di dalam taksi, Cindy merasa udara kembali normal. Lega sekali rasanya. Aku sudah menyelamatkan hidup seseorang, hidup Rio. Ia lebih baik hidup tanpa aku. Ada Angel yang lebih pantas hidup bersama Rio. Atau wanita mana pun lainnya, kecuali aku. Ada sedikit rasa sesal tetapi segera dihapusnya dengan melihat pemandangan lewat jendela taksi. Rio akan hidup berbahagia dengan yang lain. Pria yang baik, Tuhan pasti sudah memilihkan seorang puteri baginya. Sebuah senyum tergambar di wajahnya. Cindy dapat merasakan kekecewaan Rio. Tenang Rio, aku tidak sejahat yang kamu pikirkan. 

Cindy memang pergi sangat jauh. Ke sebuah tempat di pesisir pantai, Cape Town. Di sana, Cindy memulai hidup sebagai seorang pustakawan. Ia senang memberikan informasi dan membaca buku. Walaupun memang bukan tugas utama, membaca adalah hak istimewa yang dimiliki semua pustakawan. Cindy segera diterima oleh kolega dan masyarakat sekitar berkat pembawaannya yang luwes. Beberapa pria mulai mendekati Cindy namun ia belum menentukan pilihan.

Suatu hari, tiba-tiba ada bunyi pesan singkat dari komputer Cindy. Ia tidak dapat segera menjawab pesan tersebut karena harus melayani beberapa peminjaman dan pengembalian buku. Temui aku di Kafe Colombus. Pesan itu dikirimkan oleh Lolo, teman Perancis yang pernah datang ke Indonesia. Lolo suka berpetualang, jadi tidak heran kalau ia bisa sampai di Cape Town. Cindy senang bisa bertemu lagi dengannya di dunia nyata.

Pukul 4 sore, Cindy segera meluncur ke Kafe Colombus. Seseorang melambaikan tangan dari dalam lewat kaca jendela kafe itu. Lolo. Senyum Cindy merebak. Saat bertemu kembali, Lolo sudah kelihatan sangat dewasa. Sedikit tidak terurus, justru Cindy suka. Sangat jantan. Mereka memesan makanan dan minuman di kafe itu dan berbincang-bincang hingga larut malam. Lolo butuh tumpangan malam itu karena ia baru saja tiba dan tidak sempat menyewa hotel mana pun. Ragu-ragu, Cindy pun mengiyakan Lolo menginap semalam di rumah sewaannya. Hanya semalam, tidak akan terjadi apa-apa.

Malam itu, Cindy tidur di kamarnya dan Lolo tidur di bangku depan. Paginya, Cindy bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan untuk dua orang. Lolo bangun tidak lama sesudahnya dan meminta ijin untuk memakai kamar mandi. Telur dadar, sosis, kentang tumbuk dan semangkuk kaldu serta coklat hangat segera tersaji di meja makan. Cindy menunggu Lolo sambil menghirup sedikit coklat hangat itu. Tak berapa lama, Lolo pun datang dan duduk bersama Cindy. Wajahnya sudah lebih segar. Mereka pun bersantap sambil bercakap-cakap. Banyak sekali kisah-kisah petualangan yang diceritakan Lolo dan Cindy selalu antusias mendengarkannya.

Lolo tersenyum dan menatap Cindy dengan mesra. Cindy merasa malu. Tiba-tiba, Lolo menyentuh tangan Cindy dan mengatakan bahwa ia menyukai Cindy. Kata-kata Lolo membuat Cindy melayang tinggi hingga tak sadar akan serangan kecupan dari Lolo. Cindy terkejut. Lolo menganggap keterkejutan Cindy sebagai kebahagiaan. Je m'excuse de ne peux pas m'empêcher de t'embrasser. Pembicaraan setelah kejadian itu terasa canggung. Sejak hari itu, Lolo dan Cindy sering bertemu dan semakin akrab.

Pada pertemuan mereka yang kesekian kali, Lolo mengatakan dirinya akan melakukan ekspedisi melintasi laut dengan kapal layar selama beberapa bulan. Cindy cemberut. Dia tidak suka Lolo melakukan ekspedisi itu. Ma cherie, je serai viendrai à toi apres la voyager. Lolo berusaha meyakinkan Cindy dirinya akan kembali padanya setelah ekspedisi itu. Ne t'inquiéte pas, Ma cherie!

Tiba-tiba telepon genggam Lolo berbunyi. Oui, Charlotte, c'est Lolo, ... Cindy menguping pembicaraan Lolo dengan seorang wanita di telepon. Mereka membicarakan soal waktu keberangkatan dan tempat pertemuan untuk memulai ekspedisi itu. Hati Cindy sakit. Charlotte...jadi, teman ekspedisi Lolo itu seorang wanita. Cindy tidak dapat lagi menahan kekesalannya. Alor, vous voulez faire la voyager de l'amour? D'accord, mais tu n'a pas à me revenir plus. Cindy berdiri dan meninggalkan Lolo di tempat itu.

Cindy berdiri di tepi pantai Cape Town. Perasaannya kacau. Pikirannya bingung. Cindy merasa hampa, merasa kehilangan pijakan. Semua kata dan janji terasa hambar, kosong. Semua harapan akan menempuh hidup bersama selamanya, hilang. Lolo, pria yang selama ini dianggap sebagai pangeran yang akan datang menyelamatkan dirinya, ternyata tidak lebih dari bajingan yang suka berganti wanita. Akhirnya, Cindy memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon yang sedari tadi tidak ditanggapinya.

Suara Lolo tidak berhenti menjelaskan dalam bahasa Perancis dan Cindy hanya mendengarkan. Lolo tetap menyatakan dirinya seorang petualang dan Cindy harus mengerti kenyataan itu. Lolo tetap ingin bersama Cindy dan tidak ingin mengekang kebebasan Cindy. Akhirnya Cindy sampai pada kesimpulan dirinya tidak dapat hidup bersama Lolo yang luar biasa bebas. Lolo tidak akan berhenti berpetualang dan Cindy tidak akan tahan hidup seperti itu. Au revoir, Lolo! Cindy mengakhiri pembicaraan itu dan tidak pernah lagi mengangkat panggilan telepon dari Lolo.

Liburan musim panas ini, Cindy berencana habiskan waktu di Jakarta. Sudah hampir 5 tahun, Cindy belum juga kembali ke rumah orang tuanya. Tahun-tahun lalu, Cindy masih enggan datang karena peristiwa batal menikah. Lima tahun, waktu yang cukup untuk semua orang untuk melupakan pengalaman tidak menyenangkan. Time heals. Begitu Cindy meyakinkan dirinya sendiri. Cindy juga sudah sangat rindu dengan keluarganya.

Sampai di bandara, Cindy mencegat taksi untuk mengantarnya ke rumah orang tuanya. Kedatangannya ini sengaja tidak diberitahukannya. Ia ingin buat kejutan. Hari ini, mama Cindy juga berulang tahun. Cindy sudah membelikan tas dan sepatu etnik Afrika sebagai hadiah. Sesampainya di depan pagar rumah, Cindy mengetuk. Tidak ada orang di rumah. Cindy menelepon kakaknya, Rini, untuk mengetahui keberadaan keluarganya. Cindy, hei anak gila, sudah kembali rupanya lu? Rini benar-benar terkejut, senang. Rini memberi tahu bahwa saat ini mama sedang mengikuti ibadah di gereja. Bentar ya, gue buru-buru pulang nih. Tidak berapa lama, Cindy melihat Rini dan memeluknya erat. Mama Cindy tidak kalah senang melihat kedatangannya. Tidak satu pun dari mereka yang mendakwa Cindy atas peristiwa 5 tahun yang lalu. Cindy bahagia.

Anabel, sahabat Cindy akhirnya mengetahui kedatangannya. Mereka bertemu lagi di Starbucks di daerah Mangga Besar. Anabel masih saja ceriwis, Cindy kangen dengannya. Anabel bercerita dirinya sudah menikah dan punya 2 orang anak. Cindy mengucapkan selamat dan berencana bertemu dengan anak-anak Anabel. Tidak ada saat yang lebih indah dibanding bertemu sahabat lama dan mendengarkan pengalaman hidup mereka. Setelah lama berbincang, Anabel menanyakan perihal kehidupan cinta Cindy.

Cindy terdiam, ia ingat sakit hatinya dengan Lolo. Sudah berlalu, gue gak punya cinta lagi. Anabel turut sedih. Cindy segera hapus wajah sedihnya dan menggantinya dengan senyum lebar. Ah, siapa yang butuh cinta sih? Gue bisa bahagia tanpa itu. Udahlah, yuk kita karaokean. Gue udah pengen banget nyanyi, kita taruhan, ya, nilai siapa yang lebih tinggi. Kali ini, gue musti menang. Mereka berdua tertawa.



No comments:

Post a Comment

Surat untuk Berondongku

Berondongku yang ganteng dan menarik, Setiap hari saya menyalahkan perasaan ini. Setiap hari pula saya berusaha membenarkan perasaan ini, te...